Sabtu, 31 Maret 2012

Terpaksa, Ketimbang Nganggur

0 komentar
Oleh Fitri Nurhayati

Gelar sarjana diletakkan pada posisi yang edukasional. Dewasa ini sering ditemui lulusan sarjana yang bekerja tidak sesuai dengan bidangnya saat duduk di bangku kuliah. Pilihan ini di ambil ketimbang lulusan sarjana harus menyandang status pengangguran karena tidak tersedia lapangan pekerjaan dengan dalih sambil menunggu panggilan kerja.

Dalam perjalanan menempuh karir, seseorang akan berkeyakinan bahwa apa yang dilakukannya selama ini adalah untuk mencapai cita-citanya. Perkuliahan menjadi momentum tersendiri dalam mendalami keahlian yang mereka inginkan. Jurusan dalam perkuliahan tentu menjadi pertimbangan nantinya dalam menghadapi masyarakat seutuhnya. Setelah selesai kuliahpun output yang diharapkan mampu memenuhi pangsa pasar di masyarakat. Yang menjadi ironis adalah ketersediaan lapangan pekerjaan tidak sesuai dengan kuantitas para pencari kerja terutama lulusan sarjana. Hal itu yang menjadikan mereka bekerja tidak sesuai dengan jurusannya pada saat menempuh jenjang perkuliahan. Walau kecil akibat yang akan ditimbulkan jika bekerja tidak sesuai dengan bidangnya. Namun masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan jika menyaksikan kondisi tersebut. Perjalanan karir akan menjadi sejarah panjang dan mengagumkan bagi seseorang terutama bagi lulusan muda yang bekerja apa adanya meskipun tidak sesuai dengan bidangnya. Fenomena demikian dilakukan dengan terpaksa untuk merobohkan kebijakan penguasa yang sekendak hati menyebarluaskan pengangguran di masyarakat.

Pandangan itu memang wajar adanya, terlebih bila mahasiswa diletakkan pada posisi yang edukasional. Kuliah sebagai media pendidikan adalah salah satu fasilitas dimana mahasiswa melatih diri untuk mengasah gagasan demi kemajuan diri serta ekonominya sehingga dapat membentuk identitas berdasarkan kognitif masing-masing. Sebab idealnya perkuliahan memang diperuntukkan agar membentuk masyarakat yang dapat mengimbangi pangsa dalam persaingan yang sesungguhnya. Dari pandangan umum itu, ada satu keadaan yang terus mengubah perspektif kita tentang apa yang mungkin terjadi di dunia kerja. Kita harus berpikir konvensional mengatasi kapasitas manusia dan membangun potensi raksasa kita yang tertidur sesuai dengan bidang masing-masing. Dalam keadaan tertentu, ketika kegalauan merajalela, seorang lulusan sarjana akan dihadapkan untuk melibatkan diri pada masalah- sosial ekonominya dan cita-citanya sejak masuk kuliah. Nasib sendiri telah dirasa identik sebagai bagian dari nasib masyarakat pada umumnya. Sebab itulah masalah pekerjaan personal menjadi masalah bersama dimasyarakat.
Pada akhirnya apa yang dilakukan tidak sesuai dengan planning awal. Karena mereka bekerja sesuai dengan kondisi saat itu, bukan berdasar tujuan saat memulai perkuliahan. Seringkali seseorang tidak paham betul dengan apa yang menjadi tujuan awalnya. Tidak mempertimbangkan orientasi setelah lulus kuliah akan ketersediaan lapangan pekerjaan di bidangnya. Napoleon Hill mengetakan bahwa dunia ini memiliki kebiasaan memberi ruang bagi orang-orang yang ucapan dan tindakannya menunjukkan bahwa ia mengetahui tujuannya
Planning saat masuk kuliah
Pengonsepan dalam perencanaan berkarir menjadi bagian yang sangat penting dari proses berpikir. Namun kebanyakan orang menganggap bahwa konsep adalah sesuatu yang tidak jelas, abstrak, dan akademis. Anggapan ini berlaku di masyarakat yang sangat haus akan instruktur-instruktur praktis, langsung, dan segera. Begitu seorang lulusan sarjana merasa nyaman berurusan dengan konsep yang telah dibuatnya sebelum masuk kuliah, sekarang bisa mulai membandingkan dan mengontraskan konsep tersebut. Seberapa jauh perencanaan awal dengan kenyataan setelah lulus kuliah bila dibenturkan dengan persaingan kerja yang sebenarnya. Apakah rencana awal ketika mengambil jurusan dalam perkuliahan sudah benar-benar ditinggalkan, ataukah hanya sebuah variasi dalam menempuh jenjang karir seseorang. Bekerja sesuai perencanaan awal berdasarkan keahliannya seseorang akan memberikan perspektif dan persepsi yang berbeda.  
Kepadatan penduduk, pencari kerja
Daerah dengan kepadatan penduduk tinggi tidak menjamin tingkat kemakmuran penduduknya relative lebih tinggi pula. Bahaya kenaikan jumlah penduduk yang tidak terkendali, pada suatu saat akan melampaui daya dukung lingkungan yaitu kemampuan suatu daerah untuk mendukung sejumlah masyarakat pada tingkat kehidupan yang wajar. Daya dukung ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain luas daerah yang tersedia sebagai lahan pekerjaan atau berkarir bagi seseorang. Pertumbuhan penduduk yang pesat dewasa ini, seringkali dapat mengakibatkan benturan ketersediaan lapangan pekerjaan yang sebenarnya tidak sesuai dengan pertumbuhannya.
Pertumbuhan penduduk merupakan keseimbangan yang dinamis antara kekuatan-kekuatan yang menambah dan kekuatan-kekuatan yang mengurangi jumlah penduduk. Pertumbuhan penduduk yang semakin cepat, mengundang banyak masalah. Dengan munculnya tulisan Malthus pada akhir abad ke-18, masalah penduduk mempunyai angin baru dalam literature-literatur ekonomi. Seperti halnya dengan filosof-filosof Cina yang mempermasalahkan jumlah optimum penduduk yang bekerja pada tanah pertanian. Mereka merumuskan suatu proporsi yang ideal antara luas tanah dengan jumlah penduduk. Deviasi antara kedua unsur tersebut dapat menimbulkan kekayaan. Mereka menganjurkan pada pemerintah agar memindahkan penduduk pada tempat yang kurang penduduk. Sehingga ada pemerataan antara peminat kerja dengan lahan pekerjaan yang sesuai dengan jurusan para pencari kerja tersebut. Menurut penelitian mereka, jika terjadi persediaan pangan yang merosot maka berakibat pada tingginya angka kematian.
Keterbatasan lapangan pekerjaan
Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi, bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktifitas manusia baik dimasa lalu maupun pada masa sekarang. Aktifitas manusia sangat tergantung pada kesesuaian lahan. Namun keahlian yang dimiliki oleh masyarakat tidak bergantung dengan ketersediaan lahan pekerjaan. Sehingga menjadikan sebagian masyarakat memilih bekerja apa adanya sesuai dengan ketersediaan di lapangan, meskipun tidak berdasar pada keahliannya saat duduk di bangku perkuliahan. Karena keterbatasan lahan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya, maka hasil yang didapat pun akan tidak maksimal tidak seperti yang di harapkan.  
Kemampuan lahan lebih menekankan kepada kapasitas berbagai penggunaan secara umum yang dapat diusahakan di suatu wilayah. Jadi semakin banyak kapasitasnya yang dapat dikembangkan atau diusahakan suatu wilayah maka kemampuan lahan tersebut semakin tinggi. Hal tersebut berbanding terbalik dengan peminat yang mempunyai karakteristik sendiri dalam hal kemampuan sesuai dengan jurusannya masing-masing.
Alternatif pekerjaan, perlu evaluasi
Sebagai hal yang sangat penting dalam berpikir positif, alternatif pekerjaan layak untuk dibahas demi karir seorang sarjana muda ketimbang menganggur menunggu panggilan kerja. Kemampuan berpikir positif hampir bisa diukur dari kemampuan pikiran itu sendiri untuk menghasilkan alternatif. Alternatif pekerjaan di anggap penting sebagai batu loncatan sebelum mendapat pekerjaan sesuai dengan bidangnya bagi seorang lulusan sarjana. Alternatif pekerjaan menjadi lawan dari kekakuan. Keengganan mencari alternatif kerja menandakan pemikiran yang sangat kaku dan tidak mau mencari pandangan yang lebih baik terhadap dunia atau cara terbaik untuk melakukan berbagai hal.
            Alternatif pekerjaan dapat menjadi lawan dari kepuasan diri seseorang. Jika seseorang sudah merasa senang dengan keadaan dan tidak ingin membayangkan perbaikan apapun, ia tidak berusaha untuk menemukan perbaikan apapun. Seseorang akan berusaha menemukan alternatif pekerjaan untuk menutupi statusnya ketimbang menyandang gelar sarjana pengangguran, atau bahkan mendengarkan usulan dari orang lain dalam mencari pekerjaan.
            Seseorang mengetahui ada konflik pribadi dalam dirinya apabila setelah menyandang gelar sarjana namun tidak bekerja. Ia ingin melepaskan diri dari masalah tersebut, maka perhatiannya lebih banyak di arahkan pada pemecahan masalah dengan berbagai caranya masing-masing. Karena kondisi tersebut akan menjadi beban moral bagi seseorang. Pada satu sisi, menemukan alternatif pemecahan masalah pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahliannya atau bahkan menjauhi dari kata pengangguran. Cara ini belum tentu memadai yang menjadi alternatif terbaik. Haruskah pemerintah membatasi untuk berpikir lebih jauh karena seseorang sudah menemukan cara untuk melakukan sesuatu sesuai dengan bidangnya.    

 Ada hal menarik yang patut untuk dikaji kembali pada situasi macam ini. Sebab, secara nyata, sampai masa kini, tidak semua golongan atau lapisan masyarakat dapat mengaplikasikan ilmu yang didapatnya. Maka dapat ditarik asumsi sederhana, bahwa dalam sistem pencari kerja sejak dini tidak terdapat sebuah proses seleksi bakat untuk menjadikan individu melatih diri tampil di depan sesuai dengan bidangnya. Menanggapi problem sosial secara kritis dan mentradisikan kebiasaan bernalar berdasar dari olah pikir kognisi sendiri. Bila situasi ini terus dibiarkan, berarti kita membiarkan minat dan bakat seorang intelektual muda bergelut pada bidang yang bukan menjadi tempatnya. Dan keterbatasan lahan pada dunia kerja akan terus memainkan peran dalam menghadapi kekuatan semiotik yang membentuk keseragaman identitas masyarakat.
Perlu evaluasi bagi pemerintah untuk mengatasi masalahan pekerjaan yang di pegang oleh seseorang yang tidak ahli di bidangnya. Apa yang menjadi keinginan masyarakat akan ketersediaan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan jurusannya saat duduk dibangku kuliah. Evaluasi ini akan berguna karena ilmu yang di dapat akan diterapkan langsung di masyarakat. Ada pengabdian khusus kepada masyarakat sesuai dengan konsep awal saat masuk kuliah.

Leave a Reply

| Bhaskara online feeds |

Tanggapi Artikel

Labels