Kamis, 29 Maret 2012

Dalam perbincangan singkat

0 komentar
Ada yang membiarkan suara merdu itu terus terdengar ditelinga mereka sampai mereka terlelap dalam tidur mereka, ada yang benar -  benar mendengarkan suara mereka, dan bahkan sebagian  ada yang mengejeknya.  Suara yang sudah ramah terdengar ditelinga ini setiap malam memang selalu menemani dan mengisi  kesepian kampung.  Dan Karminah, memilih untuk benar - benar meresapi suara itu.
 Jangkrik, setiap nada nyaring nya menunjukan keberanian  dan keyakinan mereka.  Keberanian untuk menunjukan bahwa mereka mempunyai suara yang nyaring, dan keyakinan akan suaranya membuat setiap yang mendengar merasa nyaman. Dan seketika itu lah karminah teringat akan perbincangan singkat dengan sahabatnya, Yanto.
“Kapasitasnya belum memenuhi untuk dijadikan seorang pemimipin. Dia tak ubahnya seorang pengecut. Apakah kau rela jabatan penting, dimana nasib para miskin ada digenggam yang punya posisi itu.  Ya, ditangan si pengecut?” Ucap Yanto sembari membanting novel  yang seminggu ini menjadi teman pembunuh waktu.

            Yanto memang seorang emosional. Anugerah yang dihadiahkan Tuhan berupa watak yang encer itu nyaris tertutup dengan watak emosionalnya.  Tapi dia dihadiahkan seorang kawan yang selalu menjadi sosok penyeimbang ketika emosinya tak terbendung.
            Adalah Karminah,  kawan kecil dari si punya watak emosioanal itu. Wanita berambut panjang ikal ini, tahu segala tentang yanto. Dia tahu bagai mana cara mengendalikan emosi kawan yang dari kecil sudah ia kenal itu. Karminah  tahu betul semua tentangnya.
            “Kau bilang pengecut? Lalu sebutan apa yang pantas untuk mu, pecundangkah?“  sanggah Karminah tak terima  sepupunya dianggap sebagai seorang pengecut.
            Suasana yang tadinya panas tiba tiba berubah  menjadi tenang yang begitu sempurna.  Bunyi detak jam dinding yang menuju pukul 2 pagi itu menyaksikan sepasang kawan yang sedang terdiam satu sama lain  untuk meyiapkan beribu amuinisi untuk perdebatan kali ini.
            Walaupun karminah dikodratkan sebagai seorang perempuan, tapi keinginan kuatnya untuk membebaskan para melarat dari jeratan para pejabat kotor  ini mengalahkan omongan pedas orang yang mendapatinya berkeliaran sampai malam. Dia tidak pernah marah dengan mereka, karena dia tahu bahwa  para bodoh itu hanyalah korban dari tikus tikus liar.
            “ Kau bilang aku pecundang!” Nada tinggi yang menunjukan bahwa Yanto sudah tidak bisa lagi membendung kesalnya itu meluap memecahkan keheningan yang diciptakan mereka sendiri.
            “Aku hanya  mempertimbangkan kapasitasnya saja.”  tegas Karminah
Pemilihan kepala desa ini memang momen lima tahunan yang ditunggu oleh sebagian besar warga desa. Apalagi bagi para kaum bawah yang sudah bosan dan menderita akan segala kebijakan Burhan  selama lima tahun ini.
            Momen - momen seperti ini sangantlah dimanfaatkan oleh para politikus kelas teri yang ingin  ikut andil hnaya untuk sekedar memenuhi volume lambung  mereka.
            Disetiap sudut desa, selalu ada gerombolan – gerombolan kecil baik para hina maupun para pejabat yang sedang berbincang membicarakan siapa sosok yang menggantikan Burhan pada pemilihan  Kepala Desa nanti.
             Bagi para kandidat, kondisi miskin para kaum mayoritas ini merupakan ladang subur yang siap untuk ditanami  benih  dan sewaktu waktu  bisa dipetik  buahnya  dengan seleluasa hati asalkan mereka rajin menabur pupuk.   Amplop berisi rupiah itulah pupuk paling mujarab untuk menyuburkan tanaman mereka. Ya, si lapar adalah tanaman tanaman yang akan menghasilkan buah manis pada pemilihan besok.
            Begitupun dengan kaum lapar. Uang yang dibagikan oleh para kandidat itu seperti  tetesan air hujan dimusin kemarau. Tetesan yang membuat bunga layu menjadi segar kembali. Hanya dengan 20 ribu rupiah suara mereka dapat terbeli.
 “ Bah !! apa itu suara. Biarkan saja para pejabat itu duduk dikursi empuknya.  Yang penting  anak-anak kami tidak menangis kelaparan “  salah satu warga  mengatakan saat karminah dan Yanto memperingatkan agar tidak menerima uang dari salah satu kandidat.
           
            “ Pengalamnya baru seumur  jagung. Jangan karena Karto sepupumu kau dukung begitu saja. “ Yanto kesal karena dianggap pecundang oleh Karminah .

Tidak ada cara lain selain memilih Karto , sementara  Yanto, yang Karminah yakini sebagai penerang kegelapan desa itu tiba-tiba mengundurkan diri dari pencalonan. Karminah  tidak sampai hati memanggil Yanto sebagai pecundang, tapi kekecewaan akan keputusannya itu membuat Karminah selalu memanggilnya pecundang.

            “Lihatlah dia sekarang.  Sesosok bodoh yang diperbudak oleh politikus-politikus didikan Burhan. Sepupumu itu hanya lah boneka. Boneka yang dengan seenak hati dimainkan oleh Burhan. Sayang, si bodoh itu tidak tahu.”
            Sesaat  Karminah terdiam. Wanita yang berbola mata coklat ini baru menyadari bahwa sepupunya itu sekarang menjadi  wayang yang sedang digerakan dan dipermainkan oleh seorang dalang seperti  Burhan. Benar, Karto sekarang menjadi kaki tangan Burhan.


“Baikalah, aku siap untuk dicalonkan. Aku tidak ingin rakyat kecil semakin menderita. Tidak akan ku biarkan tikus – tkus kumuh itu menggerogoti tulang desa kita ini. Aku juga tidak akan membiarkan semakin banyak gerombolan miskin yang membudak pada  si terlaknat itu.    Yang aku  butuhkan adalah dukungan mu.”
“ tenanglah kawanku, para suci di luar sana pasti mendukung niat baik mu. “
Masih terdengar dan nampak jelas sekali  bayang perbincangan singkat  lima  hari silam itu. Yanto memang pernah mengiakan bahwa dia bersedia untuk dicalonkan. Keinginannya muncul karena ia  tidak tega melihat keadaan desa, keadaan rakyat kecil yang semakin hari semakin terpinggirkan. Dia juga bosan akan musik desa, dimana setiap waktunya selalu terdengar harmoni tangis dari setiap sudut desa. Ya, tangis kelaparan para anak si miskin.
 Yang dia inginkan adalah sebuah desa dimana selalu ada kebahagiaan, selalu ada teriakan tawa anak, canda para isteri yang suami suaminya selalu membawa  berbagai hasil peluh keringat mereka. Desa dimana tidak ada lagi lapar, kaum miskin, juga para budak Burhan. 
Belum sampai seminggu Yanto mengiakan pencalonannya itu, tapi entah mengapa si watak keras itu menarik ucapannya. Karminah berpikir Yanto adalah saeorang kawan yang konsisten, tapi kali ini dia salah.

            Suara jangkrik yang berirama itu terhenti sesaat ketika hujan turun membasahi kampung yang mempunyai pemimpin baru itu. Wangi tanah yang tersiram hujan ini serasa bunga bunga yang sedang bermekaran dimana dari jauh pun setiap wanginya akan tercium.
            Sesaat itu juga lamunan Karminah terpecah . Tetes demi tetes air masuk kedalam istana reot karminah .  Beberapa buku bacaan favoritnya dan Yanto itu basah terkena tetesan air hujan. Lagi lagi ia teringat dengan sahabatnya itu. Wajah merahnya sudah sangat jelas mewakilkan segala kekekcewaannya atas kemenangan Karto menjadi Kepala Desa. Ya, alasan kemampuan Karto dalam memimpin dan keterlibatan Burhan membuat Yanto  semakin meluap luap emosinya.
Kekawatirkarminah akan nasib  penduduk desa membuat Karminah terus berpikir langkah apa yang harus karminah lakukan  setelah ini. Ya. Yang bisa dilakukan adalah menyesali  semua apa apa yang sudah diputuskan dan membiarkan kaum hina itu terbudak oleh para antek – antek Burhan. Dan begitu pun Yanto. Karminah yakin dari lubuk hati terdalamnya pun ada sebongkah penyesalan dari apa yang sudah diputuskannya itu.  Tapi apalah arti sebuah penyesalan.
Penyesalan dari sebuah perbincangan singkat malam itu akan tiada berarti apabila tidak ada gerak.Dan yYang penting bukan dari mana sebuah pemikiran itu di produksi, akan tetapi yang terpenting adalah sejauh mana pemikiran yang dilahirkan itu mampu dijadikan gerakan sosial dan landasan paradigmatik yang menggerakan  bagi transformasi sosial dan politik.

Leave a Reply

| Bhaskara online feeds |

Tanggapi Artikel

Labels