Kamis, 29 Maret 2012

SEJARAH KELAHIRAN KM UMP

3 komentar

Oleh : Ade Sutisna*)

 Peran mahasiswa sebagai salah satu bagian dari sebuah komunitas kepemudaan mempunyai peran sejarah yang selalu dan akan selalu mewarnai perjalanan sebuah bangsa. Sehingga tak heran, mahasiswa selalu diposisikan sebagai agent of change baik secara sosial maupun politik kebangsaan.

Dalam lingkup sebuah kampus, ternyata peran mahasiswa tersebut juga berjalan seiring atau bahkan kadang berhadapan dengan kebijakan-kebijakan kampus dimana komunitas mahasiswa itu berada.

Begitupun dengan komunitas mahasiswa di UMP, yang dulunya IKIP Muhammadiyah. Ada kalanya bergandengan mesra, dan adakalanya juga berhadapan. Persoalannya adalah, apakah peran-peran mahasiswa UMP atau secara struktural lewat lembaga kemahasiswaan di UMP itu langsung berhasil mendapatkan fasilitas maksimal dari kampus, kalau boleh saya katakan, mendapat fasilitas semewah sekarang ini ? Tidak, ternyata itu hasil dari perjuangan rekan-rekan aktivis mahasiswa UMP sepanjang sejarah perjalanan kemahasiswaan di UMP.


Di sinilah persoalannya, bagaimana rentang sejarah aktivis kemahasiswaan di UMP dalam membangun ‘peradabannya’ ? baik di dalam kampus maupun di luar kampus  (dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan) ? Di sinilah letak fokus dari tulisan opini ini.
***

Pada masa awal sejarah berdirinya Lembaga Kemahasiswaan (LKM) di IKIP Muhammadiyah, pada saat itu, LKM IKIP di tingkat perguruan tinggi, masih menyatu antara Koorkom IMM dengan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), setidaknya hal ini terjadi sampai pada periode Mas Ahmad Rosidi (1992/1993).  Artinya Ketua Koorkom saat itu merangkap otomatis sebagai Ketua SMPT.

Namun proses pembaruan mulai terjadi ketika masa kepengurusan SMPT periodenya Mas Wijanarto sebagai Ketua dan Widianto Tri Atmaji sebagai Sekum. Pada saat itu, ketua dan sekretaris Koorkom Mas Fachrudin dan Widodo. Di sini terjadi pemisahan antara Koorkom IMM dengan SMPT.
Sejak saat itulah keberadaan Koorkom IMM dan SMPT berdiri sendiri-sendiri, artinya mereka bergerak di ranah yang berbeda. IMM bergerak di ladang pengkaderan Muhammadiyah dan Dakwah Kampus, sementara SMPT bergerak di ranah sosial politik.

Mas Jon (panggilan akrab Wijanarto), pada saat itu, mencoba untuk tampil dan membawa SMPT ke arah lembaga kemahasiswaan yang lebih kritis, seperti mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, baik lokal maupun pusat. Beliau sempat membuat sebuah forum yang dinamakan FAKTA (Forum Aktual). Forum ini mencoba mengkaji berbagai permasalahan sosial, ekonomi dan politik yang aktual pada saat itu. Dan elemen kemahasiswaan  yang terlibat dalam forum ini juga berasal dari berbagai kampus yang ada di Purwokerto.

Selain itu, beliau juga mencoba meretas jalan membangun jalinan komunikasi dengan lembaga-lembaga kemahasiswaan di tingkat perguruan tinggi di Purwokerto, seperti UNSOED dan STAIN (waktu itu masih IAIN Walisongo).

Setelah masa kepengurusan Mas Wijanarto (1993/1994) berakhir, dilanjutkan dengan kepengurusan Muhammad Mu’min dan Sukedi (1994/1995, 1995/1996), selaku ketua dan sekretaris. Pada masa periode inilah SMPT tampil ke arah akademik, sehingga kegiatan-kegiatan ilmiah, seperti seminar dan Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) mulai semarak dan memenangkan beberapa event, baik di tingkat lokal, regional maupun nasional.      

Pada masa atau periode awal sampai dengan kepengurusan Mas Mu’min, lembaga kemahasiswaan di tingkatan perguruan tinggi di IKIP/UMP belum terpikirnya untuk membuat lembaga kemahasiswaan yang lebih independen dari campur tangan kampus maupun negara. Artinya masih mengacu an sich terhadap SK Mendikbud No. 0457/U/1990 tentang konsep Lembaga Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.  Dalam SK Mendikbud tersebut, SMPT tampil sebagai satu-satunya lembaga kemahasiswaan di tingkat perguruan tinggi yang syah dan diakui oleh Negara.

Makanya, ketika Musyawarah Anggota (MUSANG) SMPT periodenya Mas Mu’min pada tahun 1997, penulis sempat melontarkan konsep BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) sebagai pengganti SMPT. Namun ide tersebut, belum gayung bersambut dengan apa yang dikehendaki oleh pihak Universitas, dalam hal ini Pembantu Rektor III pada saat itu, yaitu Pak Banani Ma’mur. Beliau masih menghendaki konsep SMPT sebagai satu-satunya lembaga kemahasiswaan tingkat universitas yang ada di UMP. Kalau menerapkan BEM, maka pihak universitas belum mau mengambil resiko harus vis a vis dengan Negara. Jangan lupa, pada saat itu Pak Harto masih sangat kuat.

Dalam MUSANG SMPT tersebut, penulis terpilih menjadi Ketua Umum dan Manto Suntoro sebagai Sekretaris Umum untuk periode kepengurusan 1997/1998. Pada periode ini Kami mengadakan perubahan nama dari Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) menjadi Senat Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto (SEMA UMP atau SM UMP) di tingkatan universitas dan Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) di tingkatan Fakultas.

SEMA UMP periode ini mencoba untuk menampilkan diri sebagai lembaga kemahasiswaan yang lebih dinamis dan lebih variatif. Kalau periodenya Mas Jon cenderung ke arah politik dan Mas Mu’min ke arah ilmiah serta tradisi-tradisi keilmuan an sich, maka periode 1997/1998 kami menggabungkan keduanya, kritis terhadap persoalan-persoalan kebangsaan dan juga aktif membangun tradisi-tradisi keilmuan, seperti : mengkritisi kebijakan-kebijakan kampus, kebijakan pemerintah pada saat itu, baik lokal maupun nasional (Djoko Sudantoko selaku Bupati Banyumas dan Pak Harto hingga lengser keprabon) serta aktif membangun masyarakat belajar (learning community) dengan melahirkan Forum Study Dukuhwaluh (FostDuk), dan welcome terhadap masuknya lembaga kemahasiswaan ekstra universiter, seperti HMI MPO / DIPO, KAMMI, HAMMAS, PMII serta FMN. Selain itu juga, kami turut membidani kelahiran FA-MPR (Forum Aksi Mahasiswa Purwokerto untuk Reformasi) dan Forum Aksi Pelajar Mahasiswa Muhammadiyah Banyumas untuk Perubahan.

Seiring dengan perkembangan sosial, ekonomi dan politik pada saat itu, yang melahirkan krisis multi dimensional, yang akhirnya bermuara terhadap jatuhnya kekuasaan Pak Harto sebagai penguasa Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun, serta semakin massifnya pergerakan kemahasiswaan di Indonesia, kami mendapat angin segar untuk segera mewujudkan lembaga kemahasiswaan yang lebih independen dan otonom. Artinya lembaga kemahasiswaan tersebut setidaknya mendekati konsep student governmentnya Dewan Mahasiswa (DEMA) tahun 1960-an atau 1970-an.

Makanya setelah dicabutnya SK Mendikbud No. 0457/U/1990 pada tahun 1998, kami langsung membekukan SEMA UMP pada tanggal 10 Juni 1998 dan membentuk Tim Sembilan yang terdiri dari penulis sendiri, Manto Suntoro, Turyono, Prasetyo HS, Edy Taufik Yusuf, Abdul Khayyi, Hadi Pranoto, Dedy Darmawan dan Siti Nurjanah yang berasal dari aktivis SEMA, UKM dan SMF.  

Tim inilah yang akhirnya berhasil menggodok dan melahirkan lembaga kemahasiswaan baru di UMP yang dinamakan dengan Keluarga Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto (KM UMP). Dan pada Konggres Mahasiswa (KOSMA) I pada tahun 1998 inilah, konsep KM UMP berhasil digolkan.  
***

Dampak Kelahiran KM UMP
Apa dampak kelahiran KM UMP terhadap konstelasi politik kemahasiswaan di UMP ? Mungkin inilah pertanyaan yang harus segera dijawab. 

Kelahiran konsep KM UMP yang nota benenya memiliki AD / ART tersendiri yang mengikat semua lembaga kemahasiswaan intra universiter di UMP ternyata mengeluarkan beberapa elemen lembaga kemahasiswaan, seperti : IMM, UKM Tapak Suci Putera Muhammadiyah, UKM Pramuka, dan UKM Resimen Mahasiswa (MENWA). Keempat lembaga kemahasiswaan tersebut menyatakan keluar dalam konggres karena mereka tidak mau terikat dengan AD/ART KM UMP, karna mereka memiliki AD / ART tersendiri yang tidak mau dikompromikan dengan AD/ART KM UMP.  

Menurut kami pada saat itu, KM UMP hasil KOSMA I sangatlah ideal bila dibandingkan dengan konsep SMPT-nya SK Mendikbud No 0457  karena  ada kelengkapan ‘lembaga kenegaraan’ seperti eksekutif (BEM), legislative (DEMA) dan juga lembaga-lembaga lain setingkat Universitas : Dewan Pertimbangan Mahasiswa (DPM), Badan Keuangan Mahasiswa (BKM), Badan Pemeriksa Keuangan Mahasiswa (BPKM), dan lain-lain. Di sini lembaga kemahasiswaan lebih otonom dalam mengambil kebijakan politis, pengelolaan keuangan (dana kemahasiswaan) serta lebih mendekati kepada Student Government dengan kedaulatan mahasiswanya. Sehingga KM UMP memiliki posisi tawar yang tinggi di hadapan Universitas.
***

What Next ?
Keberhasilan perjuangan mahasiswa UMP dalam melahirkan KM UMP tidak serta merta membuat aktivis kemahasiswaan mabuk kekuasaan, tetapi juga melahirkan tantangan baru opportunisme aktivis kemahasiswaan.  Hal inilah yang menyebabkan kedaulatan kemahasiswaan yang dengan perjuangan panjang telah  berhasil direbut, menjadi berkurang gregetnya karena terbeli oleh kekuasaan itu. Sehingga dalam KOSMA II tahun 1999, kedaulatan kemahasiswaan KM UMP menjadi berkurang dan posisi tawarpun menjadi menurun kembali. 
***

*) Penulis adalah Mantan Ketua Umum Senat Mahasiswa (SEMA) Universitas Muhammadiyah Purwokerto periode 1997/1998 dan Mantan Sekum LPM Bhaskara.

3 Responses so far

  1. Setelah puluhan tahun akhirnya ketemu lagi dengan tulisan ini. alhamdulillah. Terima kasih Bhaskara yang telah mengabadikan. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi saksi sejarah kelahiran KM UMP. Semoga Majalah Kampus Bhaskara UMP semakin eksis dan membumi. Salam. Aamiin.

  2. Apa kabar kang Ade Sutisna, semoga masih ingat dengan Mukhyono

  3. Mas Mukhyono, alhamdulillah kabar baik... Kirim wa jenengan Om... Ini wa q 088227822368

Leave a Reply

| Bhaskara online feeds |

Tanggapi Artikel

Labels