Oleh : Agni Priambodo |
Dengan air mata ini...
Ku berharap kepadamu...
Pemimpin...
”Apa tujuan dipilihnya pemimpin?”. Pertanyaan yang
tidak jarang muncul dalam benak kita. Pemimpin merupakan panutan atau pengambil
kebijakan dalam sebuh organisasi atau manajemen. Maka tak ayal jika gerak-gerik
seorang pemimpin selalu mendapat perhatian lebih dari pengikutnya. Pemimpin
adalah seorang yang memiliki orang-orang yang mendukungnya. Mereka mengikuti
pemimpin karena adanya kekuasaan atau power. Power inilah yang membuat pola gerakan pemimpin terlihat lantang
menembus sekat.
Walaupun pemimpin adalah seorang yang memiliki power
berlebih, tentu dalam mengambil sebuah kebijakan hendaknya selalu berkordinasi
dengan rakyat. Tindakan ini perlu dilakukan oleh pemimpin guna menampung
aspirasi rakyat. Hal terpenting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin
adalah kemampuan menggunakan mata hati.
Seringkali para pemimpin tidak mengindahkan kebijakan tersebut
berpengaruh negatif atau positif kah untuk
masyarakat.
Mengandalkan mata hati dalam menjalankan roda
kepemimpinan adalah cara sederhana namun sulit dilaksanakan ditengah
gencetan kepentingan pihak yang lebih
memiliki power. Sehingga apa boleh
buat, kebijakan yang diambil bukan untuk kepentingan masyarakat, tetapi untuk
kepentingan golongan tertentu yang telah menggencetnya. Lagi-Lagi rakyatlah
yang dikorbankan.
Menjadi pemimpin yang disegani oleh pengikutnya
bukanlah perkara mudah, egois adalah salah satu faktor penghambatnya. Pemimpin
otokratik tentu memiliki kekhasan dalam cara memimpin, bernada keras adalah
salah satu contohnya. Entah dengan nada keras tersebut menandakan ketegasan
ataupun keakuannya. Sehingga para pengikut jalan seperti mesin-mesin penggerak
kebijakan.
Banyak harapan rakyat untuk para pemimpin. Namun
sulit rasanya menyampaikan harapan rakyat langsung kepada pemimpin. Birokrasi
yang berbelit adalah alasan klasik yang menjadi penghambat suara rakyat masuk
kedalam telinga para pemimpin. Dengan beribu alasan, para bawahan pemimpin
seakan kompak memperhampat suara masyarakat yang penuh akan kegalauan. Berfikir
beban hidup yang tak kunjung ada jalan akhirnya selalu membuat beban sikologis
masarakyat menjadi tinggi. Meningkatnya aksi kriminalitas adalah salah satu
indikasi, dimana sebagian masarakyat sudah merasa frustasi dengan keadaan
ekonomi yang pas-pasan. Dibarengi dengan sifat para pemimpin yang kian hari
kian melupakan tanggung jawabnya sebagai pemimpin tentu semakin memperparah
keadaan sosial masyarakat.
Dewasa ini sedang ngetrend politik “blusukan” ala Jokowi, mantan Walikota Solo yang
kini memimpin DKI Jakarta. Tidak berapa
lama Susilo Bambang Yudhoyono yang biasa disapa SBY pun latah. Entah mereka
benar-benar menyerap aspirasi masyarakat dengan cara turun gunung ataukah hanya sekedar politik pencitraan
menuju Pemilihan Presiden RI pada tahun 2014. Patut kita waspada
menghadapi politik blusukan ala pemimpin
kita ini. Apalagi pada tahun 2013 Kabupaten Banyumas mengadakan Pesta Demokrasi
guna memilih pemimpin yang baru. Jangan sampai keadaan sosial masarakyat menjadi tambah rumit akibat dijadikan ladang
petarungan politik. Harusnya para pemimpin merasa malu terhadap rakyatnya
sendiri, karena mereka telah mengorbankan kepentingan rakyat umtuk kepentingan
golongannya.
Patut dianalisis oleh kita sebagai masarakyat Kampus
biru, dalam waktu dekat ini masa kepemipinan
Presiden BEM UMP periode 2012-2013 akan segera habis. Akan kah politik
blusukan ala Jokowi ini diterapkan oleh
mereka para pihak yang berkepentingan dalam rangka menghadapi Pemilu Raya 2013?
Sebuah
pertanyaan yang sangat mendasar dibenak kita. Jikalau politik blusukan benar
ditiru oleh kampus biru, apakah mereka akan benar-benar menyerap aspirasi
masarakyat kampus?
“Kita
harus berani menilik ke belakang, sesungguhnya apa niat mereka menjadi seorang
pemimpin?
Untuk
kepentingan pribadi?
Untuk
kepentingan golongannya?
Untuk
kepentingan masyarakat?”
Jika dari awal mereka telah berkomitmen untuk
memenuhi hasrat diri sendiri, maka tak heran jika mereka mendapatkan kekayan
materil maupun non materil yang memuaskan nafsu dunia mereka. Jika dari awal mereka telah berminat
untuk mensejahterakan kelompoknya, maka tak heran kepentingan masyarakat
luaspun terkebiri. Jika dari awal mereka telah memiliki niat untuk menjadi
tombak kebangkitan masyarakat tentunya keadaan masarakyat akan lebih nyenyak
dari saat ini. Dimana kaum masyarakat menengah ke bawah yang menjadi penduduk
mayoritas di negeri ini ternyata masih diminorkan dalam hal keadilan dan
kesejahteraan.
Saat ini,
beramai-ramai para pemimpin saling menulikan telinga serta membutakan mata dari realita yang terjadi di masyarakat.
Ketika pendidikan kian mahal dan tak terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, ketika upah pekerja semakin dikepras oleh
kepentingan kapitalis, ketika rakyat mulai bimbang kepada para pemimpin.Inilah
masa dimana masarakyat mulai gundah akan kestatisan keadaan yang slalu
merugikan mayoritas masyarakat. Maka tak salah jika kita peringatkan para pemimpin
untuk memikirkan kebijakan yang telah mereka buat harus berpengaruh
positif kepada masyarakat.
Tidak bisa dipungkiri maraknya aksi kekerasan dalam
kehidupan masyarakat bukan semata-mata karena kegagalan pendidikan moral,
tetapi tak lepas juga dari perilaku pemimpin yang mengesampingkan moral mereka
dalam bertindak, sehingga perilaku para
pemimpin mudah dicontoh oleh rakyatnya. Tindakan asusila serta korupsi
adalah makanan sehari-hari rakyat yang diperoleh dari para pemimpin. Sungguh
miris, diluar mereka berpenampilan penuh keanggunan namun didalam mereka
layaknya sebuah pembunuh bayaran yang siap menikam siapa saja. Inilah pergaulan
politik yang salah namun dilakukan oleh para pemimpin kita. Berlomba bermain
dengan citra guna meraih simpati rakyat. “menangis di posko pengungsian korban
banjir” adalah salah satu contoh penyakit citra yang slalu diluapkan oleh
pemimpin kita. Rasanya rakyat harus meberi tahu kepada para pemimpin, hendaknya
kalau bersandiwara tempatnya di lokasi shooting,
bukan di posko bencana. Bermain dengan citra adalah salah satu langkah bodoh
yang dilakukan oleh peimpin di tengah tersadarkannya mayoritas masyarakat.
Rasanya bukan isapan jempol semata, kinilah saatnya
kaum muda yang harus memimpin. Kinilah saatnya kaum berintelek harus memimpin.
Kinilah saatnya kaum proletar harus memimpin. Bukan tidak mungkin ketiga
golongan ini mampu memotong rantai pemimpin yang acuh kepada rakyat. Pola
kepemimpinan sekarang adalah serpihan dari pola pemimpin Orde Baru. Dimana otot
bekerja lebih keras dibandingkan otaknya. Sehingga rakyat sudah mulai enggan
mendengarkan janji ataupun lontran ucap para pemimpin.
Pemimpin yang tidak membela kepentingan mayoritas
masyarakat adalah pemimpin yang tidak amanah, sehingga sah bagi kita, masyarakat
yang tersadarkan untuk melawannya. Bukan dengan kekerasan, namun dengan
tindakan yang berperikemanusiaan. Banyak contoh yang dapat kita ambil dari
kebijakan pemimpin yang tidak pro rakyat, diantaranya adalah menaikan tarif
dasar listrik ditengah maraknya aksi korupsi oleh para pemimpin serta vonis
rendah para koruptor. Rasanya sakit hati rakyat tidak akan pernah terobati dan
besar kemungkinan akan menjadi meriam bagi para pemimpin.
Ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh pemimpin,
diantaranya pemimpin itu harus siddiq,
artinya pemimpin harus berani menyuarakan kejujuran dan kebenaran. Jika
pemimpin sudah mampu untuk bertindak jujur serta jauh dari kesalahan, maka
pemimpin akan lebih memperhatikan kepentingan masarakyat ketimbang mementingkan
kelompoknya. Pemimpin itu harus fathonah,
artinya pemimpin harus memiliki intelektualitas tinggi, sehingga dalam
memutuskan kebijakan untuk rakyat akan dipertimbangkan sematang mungkin untuk
kebaikan masyarakat. Pemimpin itu harus amanah,
artinya pemimpin yang dipilih oleh rakyat harus mampu membawa rasa percaya yang
telah diberikan oleh rakyat, sehingga tidak muncul rasa kecewa. Pemimpin itu
harus tabligh, artinya dalam
menjalankan sistem pemerintahan, pemimpin harus berani transparan dalam
manajemennya. Jika keempat poin tersebut dapat dipetik dan dijalankan oleh
pemimpin kita maka kekecewan rakyat bisa dihindari.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan,
“Sesungguhnya di antara hikmah Allah Ta’ala dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka. Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zholim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zholim. Jika tampak tindak penipuan di tengah-tengah rakyat, maka demikian pula hal ini akan terjadi pada pemimpin mereka. Jika rakyat menolak hak-hak Allah dan enggan memenuhinya, maka para pemimpin juga enggan melaksanakan hak-hak rakyat dan enggan menerapkannya. Jika dalam muamalah rakyat mengambil sesuatu dari orang-orang lemah, maka pemimpin mereka akan mengambil hak yang bukan haknya dari rakyatnya serta akan membebani mereka dengan tugas yang berat. Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan.
Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka. Berdasarkah hikmah Allah, seorang pemimpin yang jahat dan keji hanyalah diangkat sebagaimana keadaan rakyatnya. Ketika masa-masa awal Islam merupakan masa terbaik, maka demikian pula pemimpin pada saat itu. Ketika rakyat mulai rusak, maka pemimpin mereka juga akan ikut rusak. Dengan demikian berdasarkan hikmah Allah, apabila pada zaman kita ini dipimpin oleh pemimpin seperti Mu’awiyah, Umar bin Abdul Azis, apalagi dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar, maka tentu pemimpin kita itu sesuai dengan keadaan kita. Begitu pula pemimpin orang-orang sebelum kita tersebut akan sesuai dengan kondisi rakyat pada saat itu. Masing-masing dari kedua hal tersebut merupakan konsekuensi dan tuntunan hikmah Allah Ta’ala.[Lihat Miftah Daaris Sa’adah, 2/177-178]
Oleh karena itu, untuk mengubah keadaan kaum muslimin menjadi lebih baik, maka hendaklah setiap orang mengoreksi dan mengubah dirinya sendiri, bukan mengubah penguasa yang ada. Hendaklah setiap orang mengubah dirinya yaitu dengan mengubah aqidah, ibadah, akhlaq dan muamalahnya. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala,
surah / surat : Ar-Ra'd Ayat : 11
lahu mu'aqqibaatun min bayni yadayhi wamin khalfihi yahfazhuunahu min amri allaahi inna allaaha laa yughayyiru maa biqawmin hattaa yughayyiruu maa bi-anfusihim wa-idzaa araada allaahu biqawmin suu-an falaa maradda lahu wamaa lahum min duunihi min waalin
11. Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa malaikat yang mencatat amalan-amalannya. Dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut malaikat Hafazhah. Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.
Saatnya introspeksi diri, tidak perlu rakyat selalu menyalahkan pemimpin atau presidennya. Semuanya itu bermula dari kesalahan rakyat itu sendiri. Jika mereka suka korupsi, begitulah keadaan pemimpin mereka. Jika mereka suka “suap”, maka demikian pula keadaan pemimpinnya. Jika mereka suka akan maksiat, demikianlah yang ada pada pemimpin mereka. Jika setiap rakyat memikirkan hal ini, maka tentu mereka tidak sibuk mengumbar aib penguasa di muka umum. Mereka malah akan sibuk memikirkan nasib mereka sendiri, merenungkan betapa banyak kesalahan dan dosa yang mereka perbuat.