Selasa, 29 Januari 2013

Di Balik Topeng Sang Pemimpin

0 komentar
Oleh: Zakaria Asidiq (Divisi Redaksi)
Aku terengah ketika aku membalikan lembar kedua dari koran yang aku baca hari itu, tangan kiripun baru setengah perjalanan mengantarkan secangkir kopi yang seharusnya aku sruput. Mataku seakan tak berkedip melihat kolom yang berada tepat di bawah berita utama. Kolom yang tidak begitu lebar, tapi jelas itu sangat menyakitkan.
Sejuknya pagi ituberubah menjadi ketidak nayamanan, bukan karna halusnya polusi yang mampu menipu kedua lubang hidungku, atau karna hangatnya matahari yang membakar pori – poriku secara perlahan. Bukan juga karna ketidak nyamanan kursi busuk yang telah menemani diseperempat usiaku, juga bukan karna barisan rayap yang menggerogoti meja hitam di sebelahku.
Tapi ini karna sebuah berita, berita yang mempu mengagetkanku, bukan tentang sebuah ledakan bom yang sudah sering terjadi. Atau tentang pembunuhan berantai yang mampu mengikat para pelakunya, bukan juga berita mengenai ketidak adilan yang kerap terjadi di negara ini, itu sudah biasa.
 Jantungku berdebar kencang ketika membaca paragraf ke dua yang menyebutkan namanya. Seakan nafas berhenti berhembus di lima detik pertama. Bulu kudukpun menegang bagai rerumputan di pagi ini ,bukan karna sesuatu yang mistis, tapi karna seseorang bernama.
“ Aditya Putra Damantiyo”
Sempat terfikir ada human eror dalam pencetakannya atau kemungkinan nama itu bukan milik seseorang yang ada dalam otakku. Hampir tidak ada kesalahan dalam pengejaannya, memang benar ini orang yang aku maksut, itu faktor pertama yang meyakinkan ku tentang kebenaran. Kebenaran yang selama ini menghitam, bagaikan tertutup awan gelap di sunyinya malam.
Tidak ada gambar atau apapun yang menguatkan dugaanku tentang kebenaran ini, hanya kerumunan manusia dengan salah satunya sebagai objek perburuan mereka yang lain. Angle yang tidak pas dari sang cameraman seolah objek itu membelakanginya, objek yang seharusnya menjadi tokoh utama dalam laporannya.
 Dan seketika aku teringat sesuatu tentangnya, tentang seseorang yang menjadi tokoh utama. Aku ingat, aku mengenal dia sejak tujuh tahun lalu ketika langkahku memasuki gerbang kedewasaanku, ketika langkah pertama menuju civitas akademi yang baru, civitas yang belum pernah aku masuki dan belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Lengkap dengan rasa penasaran yang menyelimuti kala itu.
“Selamat Datang Mahasiswa Baru”
Tulisan itu masih dapat aku munculkan dalam otak ini, tergantung rapih di pintu utama sebelah kiri, dengan berberapa tulisan - tulisan lain yang lebih menarik perhatian, tentu saja bukan sebuah jargon kampanye yang sedang di publikasikan. atau hanya sekedar iklan rumahan yang sering di tempel di pertigaan jalan.
Langkahku terhenti ketika di suguhi bangunan yang seolah berlomba menunjukan kemegahannya, dengan pepohonan yang berbaris sejajar di antara mereka, tak lupa juga rumput – rumput hijau yang seakan memantulkan cahaya mentari pagi. Serta hiruk pikuk mahasiswa – mahasiswa yang membuat suasana semakin terkesan dan mampu tersimpan dalam otak ini. lengkap dengan kenangan indah di hari pertama.
Aku melihatnya saat itu, ketika dia berbicara lantang di depan ribuan mahasiswa baru seangkatanku. Berorasi bagai singa yang sedang menunjukan jati dirinya, seperti sedang berkampanye politik pilkada di kabupatennya. Tepat berdiri di atas panggung besar dengan puluhan orang di belakangnya. Megaphone  di tangan kananya menambah powernya, memperkeras suara yang hampir terdengar ke seluruh penjuru ruangan itu, dan tangan kiri yang mengepal seolah melambangkan perlawanan, melawan segala bentuk ketidakadilan terhadap rakyat.
“kita di sini bukan sebagai generasi penerus, tapi kita di sini sebagai generasi pengganti”
Begitulah seruannya yang terakhir aku ingat, begitu pula dengan semangatnya, tergambarkan dengan satu kalimat yang menggerakkan seluruh ruangan. Semua berteriak, bertepuk tangan setelah dia menyelesaikan orasinya, persis seperti presiden berpidato di depan istana merdeka. Semua bertepuk tangan, termasuk aku yang saat itu duduk di barisan paling depan. Menikmati suasana saat itu, saat semua berteriak “ HIDUP MAHASISWA”, menikmati suasana pertama kali menjadi mahasiswa.
Jauh di belakang panggung aku meliat sosoknya lagi, dan lagi. Terlihat jelas kewibawaan yang dia miliki, dengan senyum manis dan rendah hatinya yang terangkum menjadi satu dalam aura indah di sekitar wajah.
“ yang tadi orasi siapa kak?”
Tanyaku kepada pamong yang berada tepat di bangku sebelahku.
“oh, itu presiden BEM”
Sudah jelas aku bisa merasakan bahwa dia bukan orang sembarangan. Jabatannya tinggi, Presiden mahasiswa, tertinggi dalam keluarga mahasiswa universitas ini. universitas yang menjadi pilihan melanjutkan study ku. Aku berfikir nanti aku akan seperti dia, bukan hanya sekedar semangat nya. Tapi juga tentang sikap kepemimpinannya yang membuat aku tertarik saat itu. Bet di almamater menunjukan seberapa banyak pengalamannya, sudah terlalu banyak seakan terlihat tidak ada ruang lagi di lengan almamater sebelah kiri di kanan. Tentu sudah banyak turun lapangan sudah banyak melakukan kegiatan dan sudah banyak melakukan aksi di depan ratusan bahkan ribuan rakyat di kabupaten ini.
Aku jadi teringat saat pertama kali aku melakukan aksi, ketika semester kedua aku menginjakan kaki di universitas ini. Aku berada tepat di belakang barisannya. Terlihat jelas tubuh tegaknya di mataku, tubuh yang menyelimuti hati kecilnya yang selalu membara. Hati kecil yang selalu ada untuk anggotanya. Ternyata bukan aku saja yang merasakan aura itu, tapi semua orang yang ada di sekelilingnya juga merasakan.
Dengan dua buah bendera yang dia pegang saat persiapan. ya, dia yang membawanya sendiri tidak mengandalkan anggotanya. Atau memerintahkan siapapun yang dia inginkan. Dia jarang memerintah, lebih banyak bekerja dari pada berbicara.
“ mas Adit itu orang nya seperti apa?” aku bertanya
Di tengah aksi seseorang yang sudah lama bersama dia menjawab dengan semangatnya, mungking terbawa suasana.
“sebenarnya mas Adit itu orangnya asik, rendah hati, berjiwa pemimpin, bertanggung jawab, juga selalu ada untuk anggotanya”
Semua type pemimpin ideal dia sebutkan tanpa menyebutkan kelemahan seorang Aditya sedikitpun, pasti ada namun tidak disebutkan.
Aku semakin mengenalnya ketika dia sedang duduk bersama mahasiswa lain yang tidak aku ketahui siapa dan apa yang sedang mereka lakukan di sana. Melingkar, bagai sekumpulan biji – biji kecil dari kejauhan. Saling berhadapan satu sama lain, seperti sedang merencanakan hajad besar dalam kehidupan mereka. Dengan selembar karpet bergambarkan rumah ibadah yang menjadi alasnya. Serta pilar – pilar besar yang mengapit posisi mereka. Beberapa orang duduk menghadap mimbar besar yang berada tepat di ujung ruangan itu, dan beberapa orang lain membelakanginya.
Sengaja aku memposisikan diriku tidak jauh dari mereka, hanya beberapa meter, tidak juga terlalu dekat. Kedatanganku tentu bukan tanpa tujuan, dan sang penciptalah yang menjadi tujuanku.
“ selanjutnya laporan dari setiap seksi”
Terdengar jelas suara yang terdengar dari salah satu di antara mereka saat aku menyelesaikan rakaat kedua. Aku menyadari sebuah rapat sedang di lakukan di sini. Rapat yang membahas tentang apa yang tidak aku ketahui hingga hari ini. Salam keduaku mengarah ke posisi mereka dan saat itu aku tahu dialah pemimpinnya.
Seorang pria muda yang tidak bisa di tebak berapa usianya, sekitar dua puluh atau dua puluh dua tahun, aku tidak tahu. Yang aku tahu dia terlihat lebih berwibawa di antara mereka,terlihat lebih dewasa dan terlihat lebih cerdas, dari cara bicara aku sudah mengetahuinya. Lagi – lagi orang yang sudah lama menarik perhatianku.
“ untuk laporan peserta, sampai hari ini H minus empat baru terdaftar enam puluh empat peserta dari target seribu peserta”
Seseorang dia antara mereka melaporkan hasil kerjanya kepada sang ketua.
Tentu ada kejanggalan dalam laporannya, sang panitia kurang banyak mendapatkan peserta dalam acaranya.
“ seksi perlengkapan melaporkan tempat sudah fix di audit, namun jika pesertanya sedikit ada kemungkinan acara di pindahkan ke tempat lain yang lebih kecil, untuk mes dan mobil untuk menjemput pembicara belum sempat di konfirmasi karna saya banyak tugas lain yang harus lebih saya prioritaskan”
Kejanggalan terlihat di sini, yang tentu saja bukan hanya kesalahan satu seksi. Namun seluruh panitia yang di nilai tidak siap dengan persiapan penyelenggaraan  acara ini. Persiapan yang seharusnya sudah fix di segala sisi, mengingat empat hari lagi acara akan di selenggarakan
Sama sekali tidak ada perasaan marah dari sang ketua, atau perasaan kesal kepada anggotanya. Dia terlihat hanya sedikit berfikir, mencari jalan keluar mungkin. Dan sesekali menarik nafas panjangnya.
“ tidak ada yang di salahkan, kita sama – sama intropeksi diri dimana kesalahan kita, dimana kekurangan kita sehingga masih ada yang perlu lebih di perhatikan sebelum hari yang sudah kita tentukan”
Itu jawabannya, itu hasil pemikiran cepatnya. Tidak ada yang di salahkan, apa lagi yang di buatnya merasa hina saat itu. Bahkan sebuah senyuman yang di hasilkan, senyuman dari sang pemimpin tidak pernah menyalahkan anggotanya.
Sifat kepemimpinanya semakin jelas saat tahun ke dua aku mengenalnya. Tidak lagi sebagai presiden tapi sebagai ketua organisasi ekstra kampus di tingkat cabang dan aku juga berada di dalamnya. Ketika aku dan dia sudah akrab, sudah di bilang dia sebagai tempat curhatku selama ini. Hampir setiap hari aku melihat mukanya, karna kami tinggal berlima bersama anggota lain di ruangan sempit yang kami sebut sekretariat.
Aku, dan mas Adit dari satu kampus yang sama. Kahfi, Taufan dan Ari dari dua kampus yang berbeda. Kedekatan kami sudah seperti saudara. Saudara yang beda orang tua tentunya. Mereka bertiga sudah tahu karakter mas Adit seperti apa, begitu juga dengan karakter kepemimpinannya.
Dan ini bukan pertama kali mas Adit menanyakan tentang perkuliahanku, perkuliahan yang sebenarnya banyak permasalahan, namun selalu aku gambarkan dengan sebuah senyuman kepadanya. Persis seperti dia yang selalu melambangkan kesedihan dengan wajah imutnya, tak pantas memang jika di bilang imut, mengingat usianya yang lebih menginjak seperempat abad.
“gimana Ver beres kuliahnya, ada kendala apa?”
Ribuan kata itu telah terucap sejak pertama kali aku bersamanya, bahkan terkadang aku bosan. Bukan dengan pertannyaannya, tapi dengan kepalsuan sebuah jawaban dariku.
“ beres mas, cuma sedikit masalah sama IPK”
Sedikit aku bilang, itu masalah besar babagiku mengingat angka tiga tidak terlampaui di semester kelima ini.
“ selain fokus ke organisasi kamu juga harus fokus ke kuliah, managemen waktumu harus lebih di atur lagi biar organisasinya dapet kuiahnya jaga dapet”
Begitulah gaya sang pemimpin memberikan solusinya, itu yang sampai sekarang masih membekas dalam hati ini. perkataan yang tidak hanya menyentuh tapi juga memotivasiku untuk lebih maju. Dan itu bukan hanya aku saja yang merasakan , Kahfi, Taufan, Ari bahkan anggota yang lain juga merasakan hal yang sama, merasakan kenyamanan saat bertukar fikiran dengan dia.
Ingatanku seakan runtuh pagi ini, tidak pernah aku duga sebelumnya. Seseorang yang menjadi contoh pemimpin ideal merendahkan martabat serendah – rendahnya bahkan lebih rendah dari binatang sekalipun. Seseorang yang sudah aku kenal lama, bahkan aku anggap sebagai kaka pada saat itu. Dalam hatiku bertanya – tanya, apakah mungkin ini terjadi, apa yang melatar belakangi dia melakukan hal seperti ini.
Sempat terfikir suaraku dan ribuan suara yang di peruntukan kepadanya hanya sia – sia, menghasilkan sebuah amanat yang tidak dijaga kuat. Menyesal rasanya memilih dia dalam pemilihan bupati dua tahun lalu. Memubazirkan ribuan suara sakral yang melambangkan kepercayaan, amanat dan mandat yang aku berikan sebagai wakilku untuknya, dan juga wakil untuk rakyat lainnya.
200 juta, adalah angka yang mampu mengantarkannya ke hotel prodeo, hotel yang tidak pernah di idam – idamkan oleh siapapun, termasuk dia. Tertulisan yang mampu memanipulasi otak untuk memerintahkan  tangan  menghentikan geraknya dan menjatuhkan secangkir kopi hangat ke atas lantai. Dan pecah berantakan dengan warna hitam pekat dari kopi yang masih melekat di dasar cangkir, tepat menggambarkan hatiku. Jelas dalam koran pagi ini. berita yang sempat mengagetkan aku
“ Sang Bupati, Tersangka Utama Korupsi Pengadaan Mobil Pemadam”

Leave a Reply

| Bhaskara online feeds |

Tanggapi Artikel

Labels