Kamis, 10 Mei 2012

Titik Nadi Pers Mahasiswa

0 komentar
Persma Pra Kemerdekaan
Pers Mahasiswa (persma) yang kental dengan aroma pergerakan kaum intelektual telah mengambil peran penting dalam upaya membangkitkan semangat perjuangan. Perjalanan persma memang selalu mengalami perubahan di setiap zamannya. Pada masa perjuangan mengambil alih sebagai media pergerakan melawan imperialisme dan kolonialisme Belanda. Embrio persma muncul sekitar 1908-an, ini dicikal bakali dengan adanya pemuda Indonesia yang menuntut pendidikan di sekolah-sekolah Belanda.
Mereka bertujuan menginformasikan kepada rakyat Indonesia pada saat itu dalam keadaan terjajah. Kemudian antara tahun 1914-an sampai 1938-an, pertumbuhan persma bak bunga di musim semi. Seperti lahirnya “Jong java”, “Jong Celabes”, “Oesaha Moeda”, “Soeara Indonesia Moeda”, serta keikutsertaan Soekarno dan Hatta dengan menerbitkan Indonesia Merdeka dan Fikiran Rakyat. Mereka berusaha mengkritisi pemerintahan kolonial Belanda yang menyengsarakan rakyat Indonesia.
Dalam perjalanan di masa penjajahan, persma mengalami masa surut manakala harus turut berjuang secara fisik. Mendekati 1945, segenap elemen bangsa Indonesia bergabung dalam rangka membuka pintu gerbang kemerdekaan yang dikomandani Ir. Soekarno, tidak terkecuali persma.

Persma Pasca Kemerdekaan
Pasca kemerdekaan tepatnya 1955, hegemoni persma kembali tumbuh setelah mati suri untuk beberapa saat. Ini ditandai lahirnya Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) dan Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (SPMI). Kedua organisasi besar tersebut kemudian melebur menjadi Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI), yang sekaligus merubah babak baru perlawanan Pers Mahasiswa Indonesia.
Persma berkembang pesat sebagai media alternative bagi mahasiswa, untuk memberikan control social bagi pemerintah di bawah pimpinan Soekarno-Hatta. Persma memberikan kritik bagi kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Selain itu, persma juga tetap memegang identitasnya yang bernaung di instansi pendidikan. Tidak seperti kacang yang lupa pada kulitnya, mereka selalu inten untuk mengawal keputusan yang diambil oleh pimpinan civitas akademika.
Masa keemasan persma kembali diuji pada dekade 1970-an, saat Golkar mengungguli Sembilan partai lainnya. Masa yang dikenal sebagai Orde Baru ini menjadi angin kematian persma. Pemerintah di bawah ketiak Soeharto memagari gerak dengan dalih menjaga stabilitas politik pada saat itu. Puncak pembatasan tersebut, ketika terjadi tragedi “Malari” atau peristiwa makar 15 Januari 1974.
Pemberangusan persma dilatar belakangi karena kritik pers terhadap hancurnya moral politik pemerintah. Pembumihangusan persma oleh pemerintah menjalar hingga keakar-akarnya. Dengan sisa-sisa roh yang masih ada, persma berusaha menggalang kekuatan kembali. Namun gelagat tersebut kembali tercium oleh penguasa. Tunas-tunas persma yang kembali berdiri, sekali lagi diinjak oleh pemerintah.
Ditandai dengan pengeluaran Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh rezim Soeharto, terhadap kampus yang diindikasi masih ada persma. Adanya keputusan pemerintah ini menekan kepada pihak kampus untuk memberikan pressure kepada mahasiswa, untuk lebih konsentrasi pada akademis sekaligus dijejali dengan politik praktis, ini berimplikasi kepada sikap skeptic mahasiswa kepada kehidupan sosial dan politik kampus serta negara.
Dengan daya upaya seluruh element persma mengadakan pertemuan rutin untuk menggalang kekuatan dalam rangka mengubah tatanan rezim, akhirnya pada 1998 hancurlah otoritarian Soeharto. Gegap gempita menyeruak di seluruh bumi nusantara, dikarenakan awan kelabu yang menyelimuti langit ibu pertiwi telah tersapu dengan runtuhnya kediktatoran Soeharto.
Pasca Reformasi 1998, Persma dapat menghirup udara segar. Setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru, persma kembali menyusun kekuatan untuk dapat mempunyai posisi yang jelas dalam arah pergerakan mahasiswa. Persma menjadi salah satu penjaga berjalanannya demokrasi di kampus dan Negara.
Eksistensi Ideologi Persma
Persma yang dari kelahirannya adalah untuk menyuarakan rakyat tertindas. Dalam perjalanannya hingga sekarang, Persma tetap dalam koridornya untuk tetap berjuang dan melawan ketidakadilan. Walaupun ada sedikit pembeda, yaitu adanya sekat-sekat yang terbentuk, hal ini dikarenakan tidak adanya musuh bersama seperti pra dan pasca 1998. Ini tidak menyurutkan pergerakan persma untuk terus mengibarkan bendera kebenaran dalam kehidupan kampus dan bernegara.

Penulis
Guntur Yanuar Muktui Wibowo
Pegiat Pers Mahasiswa Bhaskara
(Dimuat di Harian Pagi SatelitPost)

Leave a Reply

| Bhaskara online feeds |

Tanggapi Artikel

Labels