Gerakan
mahasiswa yang masih terekam jelas dalam ingatan kita adalah masa reformasi
1998. Masa runtuhnya orde baru merupakan bukti perjuangan mahasiswa beserta
masyarakat dalam menumbangkan kekuatan rezim. Satu hal yang harus disadari oleh
mahasiswa adalah telah melekatnya “agent
of change” dalam diri mahasiswa. Ini tentunya bukan hal sepele dengan
emblem agen perubahan yang berada di pundak mahasiswa. Mahasiswa harus mampu
berinovasi sekaligus melakukan gerakan sosial yang massif, tentunya berjuang
bersama rakyat dan untuk kepentingan rakyat.
Namun, dewasa
ini bukan tanpa halangan bagi mahasiswa untuk melakukan gerakan sosial. Problem
iklim kampus yang semakin hari semakin melakukan penekanan kepada mahasiswa,
dengan menjadikan IPK sebagai satu tolak
ukur keberhasilan dalam kegiatan akademis. Ini tentunya membuat mereka menjadi
terpaku dalam satu tujuan, yaitu memperoleh IPK yang maksimal. Sehingga
kegiatan penunjang kreatifitas (non
kuliah) menjadi kurang diminati. Dalam hal ini adalah minimnya partisipasi
mahasiswa dalam mengolah organ-organ kemahasiswaan yang berada disekitarnya.
Pers
mahasiswa (persma) sebagai satu organisasi kemahasiswaan tentunya tidak serta
merta terhindar dari problema yang sedang “booming”.
Minimnya minat masyarakat kampus untuk mencicipi organisasi yang menjadi pilar
demokrasi tidak serta-merta mengurangi idealisme persma dalam melakukan gerakan
sosial. Persma yang pada dasarnya dari mahasiswa dan bukan hanya untuk
mahasiswa tentunya tidak melupakan hakekat sebagai agen perubahan. Kentalnya
idealisme mahasiswa yang anti penindasan, tak sedikit mempengaruhi arah gerak
persma. Persma merupakan satu gerakan yang berfungsi sebagai pengawal demokrasi
baik dalam kehidupan kampus maupun bernegara.
Perlu
diingat, persma bukanlah mencari keuntungan financial dan eksistensi namun
menyuarakan kebenaran serta keluh kesah masyarakat, khususnya masyarakat
kampus. Satu hal yang perlu digaris bawahi, perjuangan persma merupakan garis
perjuangan yang independent tanpa terikat dengan salah satu blok, baik blok
penguasa maupun blok oposisi. Bahkan keindependenant presma mampu mengebiri kepentingan
birokrat kampus walaupun pemutar roda produksi persma berasal dari universitas.
Menilik
kembali arah perjuangan mahasiswa, mulai dari masa orde lama Soekarno dengan
gerakan 66-nya, Peristiwa Malari 1974, dan yang paling fenomenal adalah
peristiwa Mei 1998. Ini adalah bukti kekuatan idealisme mahasiswa yang di
dalamnya terdapat coretan tinta persma.
Coretan itu
adalah sebuah bukti gerakan yang terbingkai dalam karya idealisme mahasiswa.
Bukan untuk kepentingan eksistensi golongan semata. Gerakan persma dengan
kritik intelektualitas merupakan sebuah dasar
gerakan dalam rangka pencapaian tujuan masyarakat kampus yang
demokratis.
Kondisi
mayoritas saat ini memang mengenaskan ketika perjuangan persma dipandang
sebelah mata oleh kawan-kawan mahasiswa pada umunya. Seharusnya mereka menjadi
kawan seperjuangan yang saling
bergandeng tangan melawan penindasan terhadap masyarakat. Memang tak mudah
ketika pandangan skeptic bertubi-tubi
datang menghampiri persma. Pandangan itu kita ibaratkan sebagai bahan bakar
alternatif untuk menyokong gerak mesin perjuangan yang sedari dulu tersohor
semangat perjuangan untuk mencapai kesejahteraan sosial.
Kesadaran
utama persma untuk berjuang bersama baik di dalam maupun di luar kampus
merupakan panggilan hati yang sulit ditorehkan dalam secarik kertas. Melainkan
keharusan yang benar-benar muncul dari
rahim hati sosok mahasiswa. Perjuangan persma bukan hanya coretan tinta dalam secarik kertas, melainkan
semangat mengedukasi kawan-kawan mahasiswa secara umum yang belum tersadarkan
akan emblem agent of change di pundak
mereka. Dengan coretan-coretannya yang inofativ dan beridealisme tentunya
adalah daya tarik tersendiri untuk mengajak kawan-kawan berjuang bersama
melawan penindasan yang kian hari kian merajalela di negeri ini. Menilik
keadaan persma saat ini, selain SDM yang
harus konsen untuk menaklukan kewajiban perkuliahan juga di tuntut untuk meraba
keadaan disekitar mereka. Justru ini adalah nilai plus tersendiri bagi kekuatan persma.
Dewasa
ini tugas persma bukan hanya berjuang bersama masyarakat untuk melawan
penindasan semata. Namun persma saat ini memiliki pekerjaan baru, salah satunya
adalah proses edukasi kawan-kawan mahasiswa yang tentunya masih pasif dalam
menyikapi berbagai hal yang tidak pro dengan masyarakat. Tentunya ini bukanlah
perkara mudah untuk mengajak kawan-kawan mahasiswa di tengah maraknya hedonisme
dibanding idealisme mahasiswa sebenarnya.
Proses
edukasi yang terus menerus dan kreatif merupakan salah satu cara yang harus
ditempuh oleh persma dalam mencari kawan berjuang. Bekerja bersama adalah usaha
yang bisa dikatakan massif ketika melihat kondisi saat ini yang teramat pincang
antara idelisme mahasiswa bertipikal pejuang dengan tipikal mahasiswa hedonisme
pada umumnya.
Persma
adalah gerakan yang harus menjaga nyala api perlawanannya. Di tengah era
globalisasi yang semakin garang menunjukkan taringnya, persmapun semakin mantap
menunjukkan ketajaman penanya dalam berjuang melalui coretan-coretan yang bersifat
intelektual. Perlawanan adalah kunci keberhasilan persma dalam proses
pergerakan untuk menyakiti bahkan menghancurkan para penindas rakyat. Berfikir
terbuka, bebas, dan lebih peka terhadap situasi ketertindasan dan ketidakadilan serta bertanggung jawab adalah beberapa sikap
yang harus dimiliki oleh mahasiswa, tak beda pula dengan persma, dengan alat
perlawanannya yang berupa coretan tinta.
Penulis
Agni Priambodo,
Pegiat Pers
MahasiswaBhaskara
(Dimuat di Harian Pagi SatelitPost)