Jumat, 30 Januari 2009

OPINI

1 komentar

“Lakban” Itu Bernama BKM

Panas masih menyengat siang itu. Namun hal itu tidak membuat Warso berhenti berlari-lari menuju Gedung Unit Kegiatan Mahasiswa ( UKM ). Peluh yang mengucur deras didahinya tak ia pedulikan. Ketika penulis mencegatnya, ia mengatakan, besok ia akan dapat beasiswa dari kampus.
Dahi saya berkerut. Heran. Setahu penulis, Warso tidak mempunyai prestasi yang membuat cukup bangga. Baik bagi dirinya, orang tuannya, apalagi bagi bangsa dan negaranya. IPK nya pun pas-pasan. Bahkan hampir mendekati Nasakom ( Nasib Satu Koma ) Ketika mendapati namanya terpampang dalam daftar penerima beasiswa, Warso gembira luara biasa. Paginya, tanggal 29 Januari 2009, bersama kawan-kawan lainnya, ia bergegas meluncur ke gedung rektorat. Setelah menunjukan KTM, ia berkata; “Alhamdulilah aku dapat uang Rp.500 ribu,”
Malam harinya, ia mengajak kawan-kawan kos nya pergi makan-makan.
Ya, Warso memang mendapat uang dari kampus. Namun ketika penulis bertanya uang apa, ia tidak menjawab secara pasti-untuk tidak mengatakan tidak tahu menahu asal muasal uang itu-pertanyaan itu.
Anehnya, ketika penulis bertanya kepada mahasiswa lain yang penerima BKM, hampir tak ada satu pun yang mengetahui asal muasal kenapa kampus memberikan uang sebesar Rp.500 ribu. Bagi sebagian penerima, mereka sudah cukup bangga menerima uang sebesar itu. Tanpa harus repot-repot mengetahui maksud dan tujuan pemberian uang itu.
Setelah penulis menelusuri, ternyata penulis mendapat satu jawaban; uang BKM merupakan kompensasi kenaikan harga BBM imbas kebijakan SBY-JK beberapa waktu yang lalu. Jika yang menerima kompensasi kenaikan harga BBM adalah rakyat miskin ( BLT ) maka itu wajar. Sebab, pemerintah menerapkan beberapa criteria bagi penerima BLT. Salah satunya harus mempunyai surat keterangan miskin dari lurah atau kepala desa.
Namun ketika penerima kompensasi BBM itu adalah mahasiswa, maka kemudian muncul banyak pertanyaan. Apa maksud dan tujuan pemberian kompensasi kenaikan harga BBM itu bagi mahasiswa? Lalu apa standarisasinya? Jika rakyat miskin yang menerima BLT, standarisasinya sangat jelas yakni, keterangan tidak mampu dari pejabat berwenang.
Jika mengamati daftar mahasiswa yang menerima dana BKM, maka akan dapat ditarik satu benang merah. Semua mahasiswa yang mendapat uang BKM ternyata adalah mahasiswa yang aktif berorganisasi. Oke, jika itu standarisasinya. Mahasiswa yang aktif berorganisasi memang layak diberi penghargaan. Hanya saja ada beberapa catatan yang mesti harus digaris bawahi. Yakni, banyak daftar penerima dana BKM hanya tercantum dalam struktur organisasi bersangkutan, tanpa memberi kontribusi bagi kemajuan oragnisasi ( non aktif ). Sementara banyak juga mahasiswa yang jungkir balik memberikan kontribusi, namun tidak mendapatkan penghargaan itu.
Kemudian jika standarisasinya sudah terjawab, lalu apa maksud dan tujuan pemberian dana BKM itu? Penulis berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Semoga analisis ini benar. Jika kampus hanya memberikan uang BKM kepada para organisatoris ( aktivis ), maka tidak lain hanyalah untuk membuat mahasiswa “diam”. Sebab, perubahan-perubahan sejarah di negeri ini kerap dimulai dan dimotori oleh mahasiswa. Jika SBY-JK menaikan harga BBM, hal pasti yang akan terjadi adalah protes dari kelompok mahasiswa. Nah, dalam konteks ini, tentu SBY-JK telah berpikir bagaimana menangani mahasiswa yang “nakal” itu. Dengan demikian, dana BKM tentu menjadi semacam “Lakban” yang berfungsi untuk menutup mulut.
Penulis tidak bermaksud menyalakan mahasiswa penerima dana BKM, maupun pihak kampus yang memberikan uang tersebut. Penulis hanya ingin mengajak pembaca bertanya pada diri sendiri. Siapapun orangnya, termasuk penulis, tentu tidak akan menolak jika diberi uang. Apalagi saat ini harga-harga bahan pokok meroket. Persis roket Israel yang diluncurkan menuju Palestina, lalu meluluh-lantahkan apapun yang terkena roket itu. Masih perlukah pemerintah meredam mahasiswa, mengingat hari ini kebanyakan mahasiswa hanyut dalam kultur hedonis yang semakin akut? Dan kenapa rakyat miskin yang jelas-jelas paling parah terkena roket kenaikan harga BBM itu hanya menerima Rp.300 ribu per bulan?
Jika kita tidak mampu bertanya pada siapapun, barangkali pertanyaan Ebiet G Ade perlu kita catut. “Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang…”

*Penulis adalah pengamat gerakan mahasiswa.

One Response so far

  1. Anonim says:

    YA MENLAH SING PENTING BISA GO JAJAN

Leave a Reply

| Bhaskara online feeds |

Tanggapi Artikel

Labels