Rabu, 08 Juni 2011

Ketika Nalar Demokratis Mahasiswa Meredup

4 komentar
Musyawarah Akbar Mahasiswa Fakultas  Keguruan dan Ilmu Pendidikan  (MAMF  FKIP) telah usai. Dewan Mahasiswa (DEMA) yang baru pun telah terpilih. Namun, dibalik sukses pesta demokrasi lingkup fakultas terbesar di UMP raya ini menyisakan bom waktu yang mengancam proses demokratisasi kampus biru UMP.

Sudah menjadi tradisi ketika sekelompok mahasiswa beradu argumen dalam sebuah persidangan. Tak jarang mereka menghabiskan waktu hingga larut malam untuk mencapai titik temu. Tak ada yang salah sampai titik ini. Namun, ketika proses ini berujung pada perdebatan tanpa landasan jelas yang tak jelas pula substansinya, maka saat itu pula mereka lepas dari identitasnya sebagai figur intelektual.
Barangkali inilah gambaran MAMF FKIP yang berlangsung Rabu hingga Kamis lalu (1-2/6). Pasalnya, sidang tertinggi ini dinilai tidak lagi mampu menampung aspirasi berbagai kalangan sebab adanya kepentingan segolongan orang. “Sidang ini yang semestinya untuk kepentingan FKIP ternyata ditunggangi kepentingan segolongan orang  saja,” tutur Ketua Dema UMP, Aldi.

Tak hanya itu, Aldi juga mengaku kecewa dengan kepemimpinan presidium sidang yang dinilainya arogan. “Masa kedatangan saya dipersoalkan, padahan kapasitas saya waktu itu kan sebagai ketua Dema UMP,” imbuh Aldi dengan nada kecewa.
Pnasib serupa juga dialami mantan Presiden mahasiswa UMP periode 2008/2009, Eko Dimas Kartika Aji. Dimas, sapaan akrabnya sehari-hari, mengaku kesal dengan sikap arogan Presidium sidang. “Saya dipersoalkan karena tidak mengenakan jas almamater dan tanpa undangan. Setau saya, dalam AD/ART alumni berposisi sebagai peninjau dalam persidangan, dan  saya kan alumnus, saya pikir tidak berkewajiban mengenakan almamater,” ungkap Dimas. 
Pemimpin sidang yang jamak disebut Presidium sidang, Lukman, tetap bersikeras mempersoalkan statusDimas. Hingga pada akhirnya, Dimas memilih keluar dari ruang persidangan karena merasa sudah tidak dihargai lagi keberadaannya. “Ya sudah, saya keluar saja. Tapi saya keluar lebih karena saya merasa diusir dari persidangan itu,” imbuh Dimas kesal.
Suasana persidangan semakin memanas ketika terjadi insiden pengusiran salah seorang peserta sidang, Trisna Afiyati Rizqina. Keputusan sepihak ini diambil Lukman ketika Trisna mempertanyakan seputar pencalonan diri Lukman sebagai Ketua Dema FKIP saat masih berposisi sebagai Presidium sidang. Pertanyaan mahasiswi prodi Pendidikan Bahasa Inggris ini dinilai mengganggu jalannya persidangan hingga harus dikeluarkan dari persidangan.
Keputusan ini sontak membuat peserta sidang kaget. Presiden mahasiswa UMP, Irfan, yang saat itu hadir di tengah-tengah persidangan tak bertindak apapun. Hal ini menambah kekecewaan peserta  sidang karena mereka berharap ada penyelesaian dari pemimpin Pemerintahan mahasiswa ini. “Presiden ya waktu itu ada, tapi ya diem aja. Kami berharap banyak dia (Presiden mahasiswa-red) menengahi, tapi ternyata diem aja,” tutur salah seorang peserta sidang. Ketika hendak dikonfirmasi lewat telfon, Irfan yang saat itu sedang mudik tidak bisa dihubungi.
Realitas ini menjadi indikator kongkrit lemahnya pemahaman mahasiswa UMP tentang demokrasi. Ini juga berarti proses pembelajaran berdemokrasi sedang berjalan mundur. Kondisi ini harus disadari bersama agar muncul upaya kolektif mengatasi proses kemunduran ini. Bukan saatnya lagi egosentrisme golongan yang memipin nalar para pegiat KM UMP, namun akal jernih dan hati nurani lah yang semestinya dikedepankan.(Agni Bhas)

4 Responses so far

  1. mahasiswa pgsd says:

    miris sekali

  2. Anonim says:

    waduh....ko banyak kepentingan golongan di acara kayak gitu,,,

  3. Unknown says:

    k'lo kyak gini, kapan maju'y ya FKIP

  4. Anonim says:

    kapan-kapan bos...hahaha

Leave a Reply

| Bhaskara online feeds |

Tanggapi Artikel

Labels