Birokrasi kampus kurang mendukung kebebasan berekspresi
Seminar Nasional Dies Natalis PPMI ke-23
Bhaskara - Walaupun kebebasan berpedapat dan berekspresi sudah jelas tertuang di UUD
1945, namun hak setiap warga negara tersebut belum sepenuhnya terjamin. Seperti
apa yang terjadi pada kasus-kasus yang dialami pers mahasiswa (persma)
sepanjang tahun 2015 kemarin. Setidaknya ada empat persma yang dibredel kampus
karena dianggap menyebarkan informasi yang salah dan tidak sejalan dengan
kebijakan kampus. Salah satu persma tersebut di antaranya Lembaga Pers
Mahasiswa (LPM) Lentera Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Pembredelan
dilakukan dengan penyitaan majalah mahasiswa yang diterbitkan LPM lentera.
Melihat kondisi tersebut, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI)
mengadakan seminar nasional bertajuk Bangkitnya Persma Melawan Pembungkaman.
Seminar yang bertepatan dengan ulang tahun PPMI ini diikuti seluruh insan
persma se-Indonesia dan digelar di Universitas Muhammadiyah Semarang, Sabtu
(30/1). Pada seminar tersebut banyak disinggung tentang kebebasan mahasiswa
yang kurang mendapat dukungan dari birokrasi kampus.
Perwakilan Wakil
Rektor UNIMUS Djoko Setyo Hartono berpendapat bahwa LPM saat ini juga
membutuhkan perlindungan hukum yang jelas. “Dalam UU No.40 tahun 1999, yang
isinya berhubungan dengan menjamin kebebasan berpendapat dan hak jawab serta
koreksi. Saya mengusulkan kepada PPMI untuk berkoordinasi dengan para Rektor
untuk mengesahkan UU pers bagi LPM,” kata Djoko Setyo Hartono selaku Wakil
Rektor yang pernah menjadi anggota BEM di UGM. Beliau juga menambahkan bahwa
persma harus benar-benar mendapat perlindungan hukum yang jelas agar nantinya
kasus seperti LPM Lentera tidak terulang kembali.
Hal ini
tentu tidak menjadi fokus birokasi kampus terhadap persma saja. Sekjend PPMI
Nasional, Abdus somad selaku pembicara dalam seminar Nasioanal PPMI menuturkan
bahwa mahasiswa saat ini bungkam dikarenakan birokrasi kampus yang kurang
mendukung adanya kebebasan berekspresi. “Pembungkaman murni dilakukan oleh birokrasi kampus. Padahal seharusnya Kampus
harus menjamin kebebasan berekspresi untuk mendukung nilai-nilai demokrasi di
Indonesia,” jelas Sekjen Nasional Abdus Somad.
Sedangkan
menurut Sekjen kota Madiun Eko Prasetyo, kebebasan berekspresi sangat membantu
mahasiswa untuk mendapat skill lebih setelah wisuda nanti. “Ya begitulah yang
sedang terjadi diberbagai kampus saat ini. Dengan berbagai cara birokrasi
kampus menjadikan mahasiswanya cuma menjadi mahasiswa pasif yang sibuk dengan
tugasnya masing-masing. Padahal menurut saya pengalaman dibangku kuliah cuma
10-20% saja. Sedangkan pengalaman yang paling bagus itu didapatkan dari
bersosialisasi dan berinteraksi secara langsung untuk mempratekkan ilmu yang
didapat. Sehingga mereka bisa belajar menghadapi berbagai situasi dan kondisi
yang tidak menentu,” jelas eko yang juga anggota LPM Al-Fath.
“Dengan tema
yang diangkat dalam seminar Nasional Dies Natalis PPMI ke-23, saya berharap
untuk kedepannya mahasiswa tidak takut untuk mengeluarkan pendapat dan
berekspresi, serta menolak tunduk pada kekuasaan yang salah. Dan untuk pihak
birokrasi kampus dan pemerintah sudah selayaknya melindungi hak-hak kita untuk
berpendapat dan berekspresi, serta bijak dalam menangani kasus-kasus yang
mereka anggap salah karena semua kasus pembungkaman yang terjadi kemarin tidak
semata-mata untuk menjelek-jelekan instansi ataupun personal yang terkait,
namun untuk menguak sebuah kebenaran yang selayak terungkap,” tambah ucca
Sekjen dewan kota Solo. Ucca juga berharap nantinya persma dapat menjadi
pemantik pergerakan mahasiswa yang sempat dibungkam oleh birokrasi kampus.
lanjutkan jangan mau di bungkam mari belajar terus analisis wacana ketika ada kewajiban sudah semestinya ada hak namun hal tersebut nampaknya belum seimbang antara kewajiban dan hak mari kita merapat dan kita diskusikan undang seluruh elmen pemerintahan mahasiswa