Oleh: Zakaria Asidiq (Divisi Redaksi) |
Aku terengah ketika aku membalikan lembar kedua dari
koran yang aku baca hari itu, tangan kiripun baru setengah perjalanan
mengantarkan secangkir kopi yang seharusnya aku sruput. Mataku seakan tak
berkedip melihat kolom yang berada tepat di bawah berita utama. Kolom yang
tidak begitu lebar, tapi jelas itu sangat menyakitkan.
Sejuknya pagi ituberubah menjadi ketidak nayamanan,
bukan karna halusnya polusi yang mampu menipu kedua lubang hidungku, atau karna
hangatnya matahari yang membakar pori – poriku secara perlahan. Bukan juga
karna ketidak nyamanan kursi busuk yang telah menemani diseperempat usiaku,
juga bukan karna barisan rayap yang menggerogoti meja hitam di sebelahku.
Tapi ini karna sebuah berita, berita yang mempu
mengagetkanku, bukan tentang sebuah ledakan bom yang sudah sering terjadi. Atau
tentang pembunuhan berantai yang mampu mengikat para pelakunya, bukan juga
berita mengenai ketidak adilan yang kerap terjadi di negara ini, itu sudah biasa.
Jantungku berdebar
kencang ketika membaca paragraf ke dua yang menyebutkan namanya. Seakan nafas
berhenti berhembus di lima detik pertama. Bulu kudukpun menegang bagai
rerumputan di pagi ini ,bukan karna sesuatu yang mistis, tapi karna seseorang
bernama.
“ Aditya Putra Damantiyo”
Sempat terfikir ada human eror dalam pencetakannya
atau kemungkinan nama itu bukan milik seseorang yang ada dalam otakku. Hampir
tidak ada kesalahan dalam pengejaannya, memang benar ini orang yang aku maksut,
itu faktor pertama yang meyakinkan ku tentang kebenaran. Kebenaran yang selama
ini menghitam, bagaikan tertutup awan gelap di sunyinya malam.
Tidak ada gambar atau apapun yang menguatkan
dugaanku tentang kebenaran ini, hanya kerumunan manusia dengan salah satunya
sebagai objek perburuan mereka yang lain. Angle yang tidak pas dari sang cameraman seolah objek itu
membelakanginya, objek yang seharusnya menjadi tokoh utama dalam laporannya.
Dan seketika
aku teringat sesuatu tentangnya, tentang seseorang yang menjadi tokoh utama. Aku
ingat, aku mengenal dia sejak tujuh tahun lalu ketika langkahku memasuki
gerbang kedewasaanku, ketika langkah pertama menuju civitas akademi yang baru,
civitas yang belum pernah aku masuki dan belum pernah aku bayangkan sebelumnya.
Lengkap dengan rasa penasaran yang menyelimuti kala itu.
“Selamat Datang Mahasiswa Baru”
Tulisan itu masih dapat aku munculkan dalam otak
ini, tergantung rapih di pintu utama sebelah kiri, dengan berberapa tulisan - tulisan
lain yang lebih menarik perhatian, tentu saja bukan sebuah jargon kampanye yang
sedang di publikasikan. atau hanya sekedar iklan rumahan yang sering di tempel
di pertigaan jalan.
Langkahku terhenti ketika di suguhi bangunan yang
seolah berlomba menunjukan kemegahannya, dengan pepohonan yang berbaris sejajar
di antara mereka, tak lupa juga rumput – rumput hijau yang seakan memantulkan
cahaya mentari pagi. Serta hiruk pikuk mahasiswa – mahasiswa yang membuat
suasana semakin terkesan dan mampu tersimpan dalam otak ini. lengkap dengan
kenangan indah di hari pertama.
Aku melihatnya saat itu, ketika dia berbicara
lantang di depan ribuan mahasiswa baru seangkatanku. Berorasi bagai singa yang
sedang menunjukan jati dirinya, seperti sedang berkampanye politik pilkada di
kabupatennya. Tepat berdiri di atas panggung besar dengan puluhan orang di
belakangnya. Megaphone di tangan kananya menambah powernya, memperkeras suara yang hampir
terdengar ke seluruh penjuru ruangan itu, dan tangan kiri yang mengepal seolah
melambangkan perlawanan, melawan segala bentuk ketidakadilan terhadap rakyat.
“kita di sini bukan sebagai generasi penerus, tapi
kita di sini sebagai generasi pengganti”
Begitulah seruannya yang terakhir aku ingat, begitu
pula dengan semangatnya, tergambarkan dengan satu kalimat yang menggerakkan
seluruh ruangan. Semua berteriak, bertepuk tangan setelah dia menyelesaikan
orasinya, persis seperti presiden berpidato di depan istana merdeka. Semua
bertepuk tangan, termasuk aku yang saat itu duduk di barisan paling depan.
Menikmati suasana saat itu, saat semua berteriak “ HIDUP MAHASISWA”, menikmati
suasana pertama kali menjadi mahasiswa.
Jauh di belakang panggung aku meliat sosoknya lagi,
dan lagi. Terlihat jelas kewibawaan yang dia miliki, dengan senyum manis dan
rendah hatinya yang terangkum menjadi satu dalam aura indah di sekitar wajah.
“ yang tadi orasi siapa kak?”
Tanyaku kepada pamong
yang berada tepat di bangku sebelahku.
“oh, itu presiden BEM”
Sudah jelas aku bisa merasakan bahwa dia bukan orang
sembarangan. Jabatannya tinggi, Presiden mahasiswa, tertinggi dalam keluarga
mahasiswa universitas ini. universitas yang menjadi pilihan melanjutkan study ku. Aku berfikir nanti aku akan
seperti dia, bukan hanya sekedar semangat nya. Tapi juga tentang sikap
kepemimpinannya yang membuat aku tertarik saat itu. Bet di almamater menunjukan
seberapa banyak pengalamannya, sudah terlalu banyak seakan terlihat tidak ada
ruang lagi di lengan almamater sebelah kiri di kanan. Tentu sudah banyak turun
lapangan sudah banyak melakukan kegiatan dan sudah banyak melakukan aksi di
depan ratusan bahkan ribuan rakyat di kabupaten ini.
Aku jadi teringat saat pertama kali aku melakukan
aksi, ketika semester kedua aku menginjakan kaki di universitas ini. Aku berada
tepat di belakang barisannya. Terlihat jelas tubuh tegaknya di mataku, tubuh
yang menyelimuti hati kecilnya yang selalu membara. Hati kecil yang selalu ada
untuk anggotanya. Ternyata bukan aku saja yang merasakan aura itu, tapi semua
orang yang ada di sekelilingnya juga merasakan.
Dengan dua buah bendera yang dia pegang saat
persiapan. ya, dia yang membawanya sendiri tidak mengandalkan anggotanya. Atau
memerintahkan siapapun yang dia inginkan. Dia jarang memerintah, lebih banyak
bekerja dari pada berbicara.
“ mas Adit itu orang nya seperti apa?” aku bertanya
Di tengah aksi seseorang yang sudah lama bersama dia
menjawab dengan semangatnya, mungking terbawa suasana.
“sebenarnya mas Adit itu orangnya asik, rendah hati,
berjiwa pemimpin, bertanggung jawab, juga selalu ada untuk anggotanya”
Semua type pemimpin
ideal dia sebutkan tanpa menyebutkan kelemahan seorang Aditya sedikitpun, pasti
ada namun tidak disebutkan.
…
Aku semakin mengenalnya ketika dia sedang duduk
bersama mahasiswa lain yang tidak aku ketahui siapa dan apa yang sedang mereka
lakukan di sana. Melingkar, bagai sekumpulan biji – biji kecil dari kejauhan.
Saling berhadapan satu sama lain, seperti sedang merencanakan hajad besar dalam
kehidupan mereka. Dengan selembar karpet bergambarkan rumah ibadah yang menjadi
alasnya. Serta pilar – pilar besar yang mengapit posisi mereka. Beberapa orang
duduk menghadap mimbar besar yang berada tepat di ujung ruangan itu, dan beberapa
orang lain membelakanginya.
Sengaja aku memposisikan diriku tidak jauh dari
mereka, hanya beberapa meter, tidak juga terlalu dekat. Kedatanganku tentu
bukan tanpa tujuan, dan sang penciptalah yang menjadi tujuanku.
“ selanjutnya laporan dari setiap seksi”
Terdengar jelas suara yang terdengar dari salah satu
di antara mereka saat aku menyelesaikan rakaat kedua. Aku menyadari sebuah
rapat sedang di lakukan di sini. Rapat yang membahas tentang apa yang tidak aku
ketahui hingga hari ini. Salam keduaku mengarah ke posisi mereka dan saat itu
aku tahu dialah pemimpinnya.
Seorang pria muda yang tidak bisa di tebak berapa
usianya, sekitar dua puluh atau dua puluh dua tahun, aku tidak tahu. Yang aku
tahu dia terlihat lebih berwibawa di antara mereka,terlihat lebih dewasa dan
terlihat lebih cerdas, dari cara bicara aku sudah mengetahuinya. Lagi – lagi
orang yang sudah lama menarik perhatianku.
“ untuk laporan peserta, sampai hari ini H minus
empat baru terdaftar enam puluh empat peserta dari target seribu peserta”
Seseorang dia antara mereka melaporkan hasil
kerjanya kepada sang ketua.
Tentu ada kejanggalan dalam laporannya, sang panitia
kurang banyak mendapatkan peserta dalam acaranya.
“ seksi perlengkapan melaporkan tempat sudah fix di
audit, namun jika pesertanya sedikit ada kemungkinan acara di pindahkan ke tempat
lain yang lebih kecil, untuk mes dan mobil untuk menjemput pembicara belum
sempat di konfirmasi karna saya banyak tugas lain yang harus lebih saya
prioritaskan”
Kejanggalan terlihat di sini, yang tentu saja bukan
hanya kesalahan satu seksi. Namun seluruh panitia yang di nilai tidak siap
dengan persiapan penyelenggaraan acara
ini. Persiapan yang seharusnya sudah fix di segala sisi, mengingat empat hari
lagi acara akan di selenggarakan
Sama sekali tidak ada perasaan marah dari sang
ketua, atau perasaan kesal kepada anggotanya. Dia terlihat hanya sedikit
berfikir, mencari jalan keluar mungkin. Dan sesekali menarik nafas panjangnya.
“ tidak ada yang di salahkan, kita sama – sama
intropeksi diri dimana kesalahan kita, dimana kekurangan kita sehingga masih
ada yang perlu lebih di perhatikan sebelum hari yang sudah kita tentukan”
Itu jawabannya, itu hasil pemikiran cepatnya. Tidak
ada yang di salahkan, apa lagi yang di buatnya merasa hina saat itu. Bahkan
sebuah senyuman yang di hasilkan, senyuman dari sang pemimpin tidak pernah
menyalahkan anggotanya.
Sifat kepemimpinanya semakin jelas saat tahun ke dua
aku mengenalnya. Tidak lagi sebagai presiden tapi sebagai ketua organisasi
ekstra kampus di tingkat cabang dan aku juga berada di dalamnya. Ketika aku dan
dia sudah akrab, sudah di bilang dia sebagai tempat curhatku selama ini. Hampir
setiap hari aku melihat mukanya, karna kami tinggal berlima bersama anggota
lain di ruangan sempit yang kami sebut sekretariat.
Aku, dan mas Adit dari satu kampus yang sama. Kahfi,
Taufan dan Ari dari dua kampus yang berbeda. Kedekatan kami sudah seperti
saudara. Saudara yang beda orang tua tentunya. Mereka bertiga sudah tahu
karakter mas Adit seperti apa, begitu juga dengan karakter kepemimpinannya.
Dan ini bukan pertama kali mas Adit menanyakan
tentang perkuliahanku, perkuliahan yang sebenarnya banyak permasalahan, namun
selalu aku gambarkan dengan sebuah senyuman kepadanya. Persis seperti dia yang
selalu melambangkan kesedihan dengan wajah imutnya, tak pantas memang jika di
bilang imut, mengingat usianya yang lebih menginjak seperempat abad.
“gimana Ver beres kuliahnya, ada kendala apa?”
Ribuan kata itu telah terucap sejak pertama kali aku
bersamanya, bahkan terkadang aku bosan. Bukan dengan pertannyaannya, tapi
dengan kepalsuan sebuah jawaban dariku.
“ beres mas, cuma
sedikit masalah sama IPK”
Sedikit aku bilang, itu masalah besar babagiku
mengingat angka tiga tidak terlampaui di semester kelima ini.
“ selain fokus ke organisasi kamu juga harus fokus
ke kuliah, managemen waktumu harus
lebih di atur lagi biar organisasinya dapet kuiahnya jaga dapet”
Begitulah gaya sang pemimpin memberikan solusinya,
itu yang sampai sekarang masih membekas dalam hati ini. perkataan yang tidak
hanya menyentuh tapi juga memotivasiku untuk lebih maju. Dan itu bukan hanya
aku saja yang merasakan , Kahfi, Taufan, Ari bahkan anggota yang lain juga
merasakan hal yang sama, merasakan kenyamanan saat bertukar fikiran dengan dia.
Ingatanku seakan runtuh pagi ini, tidak pernah aku
duga sebelumnya. Seseorang yang menjadi contoh pemimpin ideal merendahkan
martabat serendah – rendahnya bahkan lebih rendah dari binatang sekalipun.
Seseorang yang sudah aku kenal lama, bahkan aku anggap sebagai kaka pada saat
itu. Dalam hatiku bertanya – tanya, apakah mungkin ini terjadi, apa yang
melatar belakangi dia melakukan hal seperti ini.
Sempat terfikir suaraku dan ribuan suara yang di
peruntukan kepadanya hanya sia – sia, menghasilkan sebuah amanat yang tidak
dijaga kuat. Menyesal rasanya memilih dia dalam pemilihan bupati dua tahun
lalu. Memubazirkan ribuan suara sakral yang melambangkan kepercayaan, amanat
dan mandat yang aku berikan sebagai wakilku untuknya, dan juga wakil untuk
rakyat lainnya.
200 juta, adalah angka yang mampu mengantarkannya ke
hotel prodeo, hotel yang tidak pernah di idam – idamkan oleh siapapun, termasuk
dia. Tertulisan yang mampu memanipulasi otak untuk memerintahkan tangan
menghentikan geraknya dan menjatuhkan secangkir kopi hangat ke atas
lantai. Dan pecah berantakan dengan warna hitam pekat dari kopi yang masih
melekat di dasar cangkir, tepat menggambarkan hatiku. Jelas dalam koran pagi
ini. berita yang sempat mengagetkan aku
“ Sang Bupati, Tersangka Utama Korupsi Pengadaan
Mobil Pemadam”