Persma Pra
Kemerdekaan
Pers Mahasiswa (persma) yang
kental dengan aroma pergerakan kaum intelektual telah mengambil peran penting
dalam upaya membangkitkan semangat perjuangan. Perjalanan persma memang selalu
mengalami perubahan di setiap zamannya. Pada masa perjuangan mengambil alih
sebagai media pergerakan melawan imperialisme dan kolonialisme Belanda. Embrio persma
muncul sekitar 1908-an, ini dicikal bakali dengan adanya pemuda Indonesia yang
menuntut pendidikan di sekolah-sekolah Belanda.
Mereka bertujuan menginformasikan
kepada rakyat Indonesia pada saat itu dalam keadaan terjajah. Kemudian antara
tahun 1914-an sampai 1938-an, pertumbuhan persma bak bunga di musim semi.
Seperti lahirnya “Jong java”, “Jong Celabes”,
“Oesaha Moeda”, “Soeara Indonesia Moeda”, serta keikutsertaan Soekarno dan
Hatta dengan menerbitkan Indonesia Merdeka dan Fikiran Rakyat. Mereka berusaha
mengkritisi pemerintahan kolonial Belanda yang menyengsarakan rakyat Indonesia.
Dalam perjalanan di masa
penjajahan, persma mengalami masa surut manakala harus turut berjuang secara
fisik. Mendekati 1945, segenap elemen bangsa Indonesia bergabung dalam rangka
membuka pintu gerbang kemerdekaan yang dikomandani Ir. Soekarno, tidak terkecuali
persma.
Persma Pasca
Kemerdekaan
Pasca kemerdekaan tepatnya 1955,
hegemoni persma kembali tumbuh setelah mati suri untuk beberapa saat. Ini
ditandai lahirnya Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia (IWMI) dan Serikat Pers
Mahasiswa Indonesia (SPMI). Kedua organisasi besar tersebut kemudian melebur
menjadi Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI), yang sekaligus merubah babak
baru perlawanan Pers Mahasiswa Indonesia.
Persma berkembang pesat sebagai
media alternative bagi mahasiswa, untuk memberikan control social bagi
pemerintah di bawah pimpinan Soekarno-Hatta. Persma memberikan kritik bagi
kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Selain itu, persma juga tetap
memegang identitasnya yang bernaung di instansi pendidikan. Tidak seperti
kacang yang lupa pada kulitnya, mereka selalu inten untuk mengawal keputusan
yang diambil oleh pimpinan civitas akademika.
Masa keemasan persma kembali
diuji pada dekade 1970-an, saat Golkar mengungguli Sembilan partai lainnya. Masa
yang dikenal sebagai Orde Baru ini menjadi angin kematian persma. Pemerintah di
bawah ketiak Soeharto memagari gerak dengan dalih menjaga stabilitas politik
pada saat itu. Puncak pembatasan tersebut, ketika terjadi tragedi “Malari” atau
peristiwa makar 15 Januari 1974.
Pemberangusan persma dilatar belakangi
karena kritik pers terhadap hancurnya moral politik pemerintah. Pembumihangusan
persma oleh pemerintah menjalar hingga keakar-akarnya. Dengan sisa-sisa roh
yang masih ada, persma berusaha menggalang kekuatan kembali. Namun gelagat
tersebut kembali tercium oleh penguasa. Tunas-tunas persma yang kembali
berdiri, sekali lagi diinjak oleh pemerintah.
Ditandai dengan pengeluaran
Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh
rezim Soeharto, terhadap kampus yang diindikasi masih ada persma. Adanya
keputusan pemerintah ini menekan kepada pihak kampus untuk memberikan pressure kepada mahasiswa, untuk lebih
konsentrasi pada akademis sekaligus dijejali dengan politik praktis, ini
berimplikasi kepada sikap skeptic mahasiswa
kepada kehidupan sosial dan politik kampus serta negara.
Dengan daya upaya seluruh element
persma mengadakan pertemuan rutin untuk menggalang kekuatan dalam rangka
mengubah tatanan rezim, akhirnya pada 1998 hancurlah otoritarian Soeharto.
Gegap gempita menyeruak di seluruh bumi nusantara, dikarenakan awan kelabu yang
menyelimuti langit ibu pertiwi telah tersapu dengan runtuhnya kediktatoran
Soeharto.
Pasca Reformasi 1998, Persma
dapat menghirup udara segar. Setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru, persma kembali
menyusun kekuatan untuk dapat mempunyai posisi yang jelas dalam arah pergerakan
mahasiswa. Persma menjadi salah satu penjaga berjalanannya demokrasi di kampus
dan Negara.
Eksistensi Ideologi
Persma
Persma yang dari kelahirannya
adalah untuk menyuarakan rakyat tertindas. Dalam perjalanannya hingga sekarang,
Persma tetap dalam koridornya untuk tetap berjuang dan melawan ketidakadilan.
Walaupun ada sedikit pembeda, yaitu adanya sekat-sekat yang terbentuk, hal ini
dikarenakan tidak adanya musuh bersama seperti pra dan pasca 1998. Ini tidak
menyurutkan pergerakan persma untuk terus mengibarkan bendera kebenaran dalam
kehidupan kampus dan bernegara.
Penulis
Guntur Yanuar Muktui Wibowo
Pegiat Pers Mahasiswa Bhaskara
(Dimuat di Harian Pagi SatelitPost)