Jumat, 16 Desember 2011

Refleksi Rektor Ideal untuk Progresifitas Kampus

2 komentar
Bercermin dari tokoh perintis
Sosok  gagah  nan  ideal  sebagai  penggagas  kemuhammadiyahan.  Akrab  kita  kenal dengan   nama   K.H.   Ahmad   Dahlan.   Ide -idenya   yang   membawa   perubahan   secara revolusioner  mulai  dari  sistem  pendidikan,  ekonomi,  sosial,  dan  politik.  Ahmad   Dahlan menyaksikan  polemik  masyarakat  Yogyakarta  yang  dipandang  tidak  sesuai  dengan  jiwa ajaran  islam.  Kondisi  obyektif  umat  islam  waktu  itu  berada  dalam  keterbelakangan, kebodohan  dan  kemiskinan.  Sedangkan  bangsa  Indonesia  berada  dalam  cengkeraman penjajahan.  Kondisi  obyektif  semacam  itu  semakin  member  dorongan  padanya  untuk melakukan  perubahan  atas  kondisi  yang  buruk  itu .  Dengan  menengok  pada  khasanah pembaharuan   di   dunia   islam,   maka   ia   mewujudkan   dorongan   itu   kedalam   cita-cita
membangaun  sebuah  gerakan  islam  yang  mampu  memperbaharui  kehidupan  masyarakat. Dengan   didorong   oleh   koleganya   maka   terbentuklah   suatu   organisasi   islam   yaitu muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah 1330 atau bertepatan tanggal 18 November 1912.
Menyaksikan  keberhasilan  Ahmad  Dahlan   dalam  membentuk  organisasi  islam menjadikannya  sebagai  sosok  pemimpin  yang  dapat  menyetarakan  masyarakat  golongan menengah  kebawah  dengan  masyarakat  golongan  atas   waktu  itu,  kita  dapat  bercermin sudahkah para pemimpin kita melakukan hal yang sama? Keberhasilan seo rang pemimpin tidak  hanya  diukur  dari  seberapa  banyak  programnya  sudah  terlaksana,  namun  seberapa besar program tersebut dapat berpengaruh terhadap  orang lain.
Kepemimpinan  yang ada pada diri  Ahmad Dahlan sesungguhnya  lahir dari sebuah proses internal  (leadership from the inside out ), bukan dari pangkat ataupun jabatan  yang disandangnya. kepemimpinan datang dari sebuah proses yang panjang, yaitu dari perubahan karakter  atau  transformasi  internal.  Begitu  juga  dengan  para  pemimpin  kita  yang  lain. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungan , dan ketika keberadaannya membawa  perubahan dalam lembaga. Pada saat itulah seseorang lahir menjadi pe mimpin sejati.
Hal ini juga diperkua t oleh gagasan Tannebaum, Weschler and Nassarik:1961  yang mengatakan  bahwa  kepemimpinan  pada  dasarnya  adalah  pengaruh  antar  pribadi,  dalam situasi  tertentu  dan  langsung  melalui  proses  komunikasi  untuk mencapai  satu  atau beberapa tujuan tertentu . Sejalan dengan Tannebaum maka muncul pemikiran dari R auch & Behling:1984 yang memperkuat   bahwa kepemimpinan   adalah suatu   proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan bersama .
Dalam kesempatan ini penulis akan membahas mengenai  kepemimpinan ideal yang kita  rindukan  sebagai  mahasiswa  dan  seluruh  civitas  akademika  serta  warga  kampus lainnya.. Sehingga peran  dan tugas mahasiswa sebagai  agent of change  dapat tercapai dan membawa dampak yang positif.  Pemimpin kita yang ideal  saat ini di UMP biasa kita sapa dengan sebutan “rektor”.   Untuk menjadi pemimpin dan orang pertama di suatu perguruan tinggi  tidaklah  mu dah.  Perlu  pertimbangan  bersama  untuk  memutuskan  suatu  kebijakan. Bukan menganut sistem otorite r dimana pihak yang memiliki  kekuasaanlah yang menang. Hal  ini  juga  sejalan  dengan  prinsip  muhammadiyah,  bahwa  dalam  menetukan  seorang pemimpin harus berdasarkan musyawarah mufakkat.

Pemilihan Rektor di UMP
Disadari atau tidak, pemilihan rektor memiliki makna penting bagi keluarga besar Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Jabatan puncak, dengan segala kewenangan yang diejawantahkan  dalam  berbagai  kebijakan  strategis  yang  dilakukan  rektor  tentunya  akan membawa  maju  mundurnya  universitas  kedepan.  Kesalahan  dalam  mengambil  kebijakan tentunya akan merugikan be rbagai pihak. Begitu pula dengan kebijakan yang tepat tentunya akan membawa kemaslahatan bagi keluarga besar UMP.
Universitas   Muhammadiyah   yang   notabene   masih   tergolong   perguruan   tinggi berkembang  hingga  saat  ini  sudah  mengalami  pergantian  rektor  sebanyak  8  periode. Memulai  perjalanannya  dibawah  pimpinan  pertamanya  yaitu  Drs.  H.  Djarwoto  Aminoto (1968-1976) kemudian habis masa jabatan  dan digantikan oleh Drs . H. Syamsuhadi Irsyad (1976-1988), berlanjut kemudian habis masa jabatan dan kembali lagi dipimpin oleh Drs. H. Djarwoto Aminoto  (1988-1997). Kemudian periode ke -4 dipegang oleh Prof. Dr. H. Max Darsono (1997-1998), dilanjutkan Ir.  H. Purwito, Ms (Pjs 1998 -1999), periode berikutnya dipegang  oleh  Dr.  H.  Djoko  Wahyono,  S.U.,  Apt  beliau  menjabat  selama  dua  periode berturut-turut  (1999-2003  dan  2003-2007).  Kemudian  rektor  periode  kali  ini  dijabat  oleh Drs. H. Syamsuhadi Irsyad, S.H.,M.H (2007-2011).

Rektor seperti apa yang diharapkan mahasiswa?
Dengan segala per an dan tanggung jawab yang dipikul, idealnya rektor Universitas Muhammadiyah  Purwokerto   menjadi  seorang  pe mimpin  yang  mumpuni  dibidangnya . Harus   berorientasi   melayani,   meninggalkan   kepentingan-kepentingan   golongan   dalam merumuskan  kebijakan  yang  dapat  menguntungkan  bersama .  Dalam  mengemban  tugas haruslah  memiliki  karakteristik  yang  bersih  di setiap  tindakan,  visioner  pada  perubahan yang  membangun  dan  action  untuk  terus  berkontribusi,  professional  dari  sisi  akademis maupun  managerial  institusi.  Rektor  harus  bisa  mengayomi  mahasiswa  dan  membangun suasana  akademik  yang  harmonis,  tanpa  menghilangkan  daya  kritis  mahasiswa  yang tumbuh alami di organisasi kampus. Sehingga mampu menjalin kerj asama yang elegan dan egaliter dengan semua pihak yang terkait dengan universitas seperti dose n, karyawan, dan mahasiswa.
Seorang rektor tidaklah hanya sebatas konseptor belaka. Namun juga sebagai pel aku pendidikan  yang  mengeluarkan  kebijakan,  menunjukkan  keberpihakannya  pada  golongan menengah  kebawah.  Seperti  yang  sedang  digencarkan  sekarang  ini  yaitu  permasalahan biaya pendidikan yang memberatkan golongan menengah kebawah.  Banyak kalangan yang belum  mampu  mengenyam  pendidikan  secara  merata.   Disinilah  rektor  sangat  berperan dalam menentukan pemerataan pendidikan.  Bukannya  hanya menyetujui semua kebijakan atasan  seperti  dibentuknya  UU  BHP  yang secara g amblang memberatkan  mahasiswa .  Itu hanyalah sebagai contoh kecil saja.
Diatas telah disebutkan bagaimana idealnya seorang rektor.  Sebagai penyempurna maka      seorang  rektor  harus  mempunyai  program -program  kerja  yang  dapat  menunjang kemajuan  universitas.  Diantaranya  dengan  meningkatkan  mutu  pendidikan.  Univ ersitas Muhammadiyah  Purwokerto  memiliki  Lembaga  Jaminan  Mutu  (LJM)  yang  tugasnya meningkatkan   mutu   pendidikan   di   UMP.   Dengan   adanya   lembaga   tersebut   rektor hendaknya  memaksimalkan  peran  dan  fungsinya,  sehingga   output  yang  dihasilkan  lebih kompeten dalam b idangnya masing -masing.
Program   pembangunan   fisik   yang  sekarang   gencar  sangat   mendukung  proses perkuliahan nantinya. namun hal ini tidak sejalan dengan kebutuhuan primer dan sekunder untuk  kemajuan  universitas.  Terbukti  dengan  pembanguna  fisik  yang  maksim al  namun menyisihkan  mutu  pendidikan  yang  ada.  Sebagai  contoh  proses  akreditasi  di  masing - masing fakultas oleh  BAN -PT  yang belum merata. Penilaian sarana dan prasarana hanya mempunyai nilai 20 %, proses pembelajaran 50 %, dan out put 30 %. Hal ini menunjuk kan bahwa seharusnya mutu pendidikan lebih diutamakan dari pada bangunan fisik.

Kesempatan menjadi rektor
Penulis katakan bahwa seandainya penulis diberi kesempatan untuk  menjadi rektor, memimpin   kampus   yang   megah   berda sarkan   syariah   islam   tidaklah   mudah.   Harus memenuhi  syarat  dan  kriteria  yang  sudah  digariskan.  Namun  seb agai  pemimpin,  penulis akan   menjalankan   tugas   dengan   baik   sebagaimana   rektor   ideal     seperti   yang   sudah dijelaskan  diatas.  M enjaga  jangan  sampai  orang  yang  membe ri  kepercayaan  dan  tugas merasa kecewa, menyesal karena tidak puas dengan  pelayanannya. Selalu merasa takut jika ada  orang  yang  kecewa  dengan  apa  yang  ia  berikan.  Sebaliknya,  dalam  hidup  ini  kita menyukai jika orang lain senang dengan apa yang kita lakukan .
Sebagai rektor di UMP, nantinya harus mem punyai tekad untuk selalu bekerja, jika apa  yang  di  perjuangkan  belum  berhasil.  Terlebih  tanggung  jawab  ini  be rkaitan  dengan kehidupan  masyarakat  di  masa  depan  karena  memimpin  suatu  lembaga  pendidikan   yang menyangkut  kepentingan  kalangan  masyarakat .  Kerja  keras  tidak  saja  dilakukan  dalam menunaikan  amanah  tatkala  menjabat,  tetapi  sampai  semampu  kita  untuk  bekerja  keras. Pekerjaan  atau  profesi  di  dunia  pendidikan  hendaknya  tidak  ditunaikan  sebatas  upaya mencari uang saja.
Oleh  karena  itu  perlu  evaluasi  untuk  pemilihan  rektor  periode  berikutnya.  Agar program-program  yang  ditawarkan  nantinya  dapat  menciptakan  kesejahteraan  bersama . Sebagai  wujud  amal  usaha  muhammadiyah  maka  pemilihan  rektor  tidak   berdasar  hak prerogatif  semata  namun  berdasarkan  musyawarah  mufakat ,  serta  konsisten  dengan  apa yang sudah menjadi kesepakatan bersama.

Oleh Fitri Nurhayati
dalam lomba penulisan essay "Andai Aku Jadi Rektor"
tingkat universitas 
Continue reading →

Musyawarah Anggota Bhaskara 2011

0 komentar







Continue reading →

“Nazarudin sayonara”

0 komentar
Negara Indonesia itu sarangku
Ada berbagai macam warna kebusukan
Zebra cross saja jadi ular koros
Aku juga ikutan dong, nyuapin para bos – bos
Rumah mewah, mobil dan uang sebagai penyemangat
Untungnya mereka bungkam dan bisa diangkut
Dan bank dunia pun siap menyimpan kejuku
Inilah panggungku, panggung para penghibur
Nazarudin sayonara” kata mereka
                                                                                 Titis Wahyudi
(Mahasiswa Pend. Matematika dan aktif di Teater Perisai)
                                                                                 Purwokerto, 9 Agustus 2011
Continue reading →

Putrimalu Berbingkai

0 komentar
Oleh Fitri Nurhayati
Cerpen pertama_semasa SMA dalam Aksara

Malam kembali larut dalam balutan sunyi. Dewi malam masih enggan membuka gorden jendelanya. Aku pilih bantal persegi yang mulai kusut sebagai alas tidur kepalaku. Diatas kasur lantai yang lebarnya seperempat dari kamarku. Malamku larut, lelap, dan tidur. Semalam itu menjadi memori yang seharusnya tercacat dalam deretan bencana. Tragedy dimana si jago merah melahap lezat sebagian isi perut bumi. Insiden ini yang memisahkan persahabatanku dengannya.
Seketika! Jeritan orang itu terdengar, membangunkan sunyiku.
“Tetha… Tetha… bangun…!!!,” suara itu mengagetkan seraya diiringi gedoran dari jendela. Tubuhku masih terbujur dikasur lantai. Kutatap mesra lagit-langit kamar, karena aku masih enggan menelanjangi jeritan diluar rumah. Namun, perlahan kucoba mendengar sebenarnya ada apa diluar rumah. Ya, itu seperti suara Putri. Sahabat yang kamarnya bersebelahan dengan kamarku. Kami sengaja menyewa kamar milik satu orang. Karena kebetulan satu kamar kos hanya boleh diisi oleh satu orang saja. Aku dan Putri sengaja memilih kos agar dekat dengan kampus kami.
Diluar kamar masih ramai, sekarang malah terdengar suara kentongan berlarian kesana kemari. Cahaya lampu juga padam. Aku mulai panik karena terkurung sendiri dikamar.
“Kebakaran!!! Kebakaran!!!,” jeritan itu terdengar jelas ditelinga. Namun entah suara siapa itu. Perlahan aku raba lantai mendekati pintu karena aku tak lagi melihat tingginya plafon-plafon yang terpampang dikamarku. Ternyata pintu kamar terkuncidari luar. Mungkin sebelumnya sengaja dikunci oleh Putri dengan maksud untuk bercanda. Aku menoleh, terlihat dari celah jendela kepulan asap disertai cahaya merah api berkobar. Tenang…tenang… hiburku dalam hati mencoba menenangkan diri. Kini ak mulai meraba tembok menuju jendela sambil mencari sesuatu yang kuanggap berharga. Kutemukan lukisan kecil di dinding, satu-satunya lukisan berbingkai yang terpampang dikamarku. Segera aku mengambilnya dan membuka jendela dalam hiruk-pikuk kepanikan kemudian melompat keluar. Alhamdulillah… Tuhan masih menyelamatkan aku. Do’aku bersyukur dalam hati.
Tak terpikir olehku, langit yang gelap sudah diwarnai dengan kepulan si jago merah melambung yang telah menghanguskan sederet ruko dan membangkaikan segerombolan perumahan tempat aku kos. Ya Tuhan… kataku lirih. Dimana Putri sekarang? Kamar itu telah hangus, kamar dimana aku biasa bermain dengan Putri.
Lamunanku sirna dengan suara kentongan seraya tangisan para ibu mencari anak-anaka mereka. Aku berlari mencoba mencari Putri sambil menenteng lukisan kecil. Lukisan berbingkai yang dapat aku selamatkan dari kamar kos yang sekarang sudah menjadi bangkai. Berlari, terjatuh, bangkit dan berlari lagi hingga akhirnya aku sampai di pos pengungsian. Ya, kini api sudah mulai padamkarena tim pemadam kebakaran sudah menunjukkan aksinya. Dan malam kembali gelap, hanya ada remang-remang sisa api.
“Duduk disini de’ bersama ibu” kata seorang ibu yang sedang menyusui anaknya ditenmda darurat. Aku termenung, teringat ibuku dikampung. Sedang apa beliau disana? Sedang menyaksikan tragedi inikah ibu? Akankah beliau mencemaskan aku?
“De’…” kata ibu itu lagi sambil menepuk pundakku.
“Ya, terimakasi,” jawabku buyar dari lamunan, kemudian duduk didekatnya. Tak hentinya orang hilir-mudik memberikan bantuan dalam waktu semalam.
***
Pagi masih menyisakan duka semalam. Aku kembali menatap lukisan kecil berbingkai yang didalamnya terdapat gambar aku dan putrid. Lukisan yang diam tak pernah memberi jawaban dimana Putri sekarang. Lukisan yang hanya mengingatkan kebersamaanku dengan Putri sejak kecil. Dibaliknya tertanggal 01 Mei 2000 dan tertanda “Putrimalu Berbingkai”. Ya, kami menandainya Putri Malu, karena nama Putri adalah Echa Putria dan namaku Tetha Maulina. Kami menggabungkan nama itu menjadi “Putrimalu”. Memang nama itu tidak serasi untuk digabungkan, namun kami suka saja dengan nama itu.
“kepada Saudara Tetha Maulina harap segera menuju secretariat pos pengungsian,” kalimat itu terdengar dari megaphone petugas. Hatiku sedikit tersenyum karena dalam pikiranku Putri memanggilku. Sekejap aku merasa tidak sendiri karena di kota ini aku tidak mempunyai teman selain Putri. Aku bisa kembali kekampung bersamanya. Sejak kematian ayah dan ibunya, Putri hidup sendiri. Dia membiayai hidup dan pendidikannya dari hasil pensiunan ayahnya sebagai guru SD.
“De’ apa ade yang dipanggil?” kata ibu yang menyusui anaknya semalam.
“Ya, kok ibu tahu?” jawabku singkat.
“Sepertinya ibumu menjemput, de. Lihat wanita bererudung itu yang bediri disamping relawan. Dari tadi ia memanggilmu,” kata ibu itu sambil menunjuk ke secretariat pengungsian. Ibuku tidak dapat mendekatiku karena tenda darurat terlalu sempit.
Segera aku berlari meraihnya. Aku kembali dalam dekapan ibuku, dekapan lembut disetiap resahku. Semalam aku merindukan belaiannya, karena aku melohat bocah cilik yang sedang disusui dipangkuan ibunya. Mereka terlihat bahagia, bersama dalam sebuah musibah. Tak terasa aku larut dalam dekapannya. Pagi ini masih menyisakan segudang trauma semalam. Aku tak ingin berjalan mengikuti alunan duka.
“bu, ayah dimana?” tanyaku lirih masih dalam pelukannya.
“Ayah sedang mencari Putri nak, dan ibu yang mencarimu,” jawabnya lembut.
Hatiku kembali lega karena ayah berpihak padaku untuk mencari Putri. Namun, ayah kembali tanpa membawa Putri. Aku kembali hampa tanpa sahabat menemaniku.
Sebelum pulang kekampung, aku sempatkan berpamitan dengan ibu-ibu yang duduk bersamaku semalam. Ia masih memangku anaknya, masih setia meninabobokan buah hatinya. Betapa besarnya curahan kasih sayang seorang ibu. Kataku dalam hati.
“Bu, terimakasih. Sekarang saya sudah dijemput ibu saya,” kataku berpamitan.
“Ya, hati-hati de. Kamu harus tetap tegar, sahabatmu pasti akan ditemukan . pulanglah denga hati yang lapang,” katanya sedikit menasihatiku.
Aku masih tidak tega meninggalkan bekas jejak kakiku semalam, apalagi menyaksikan ibu yang memangkui anaknya itu. Tanpa terasa embun pagi masih terlalu dingin, kulepaskan jaketku dan mencoba kuselimutkan pada balita yang dipangku ibu itu. Kupikir, itung-itung berbuat baik sesama korban bencanma. Anak itu masih tertidur lelap. Mungkin matanya lelah menyaksikan hilir-mudik tangisan orang semalam tiada henti.
“Terimakasih de, semoga sahabatmu ditemukan dalam keadaan selamat,” kata ibu itu berterimakasih apdaku.
“Assalamu’alaikum,” katanya tersenyum berpamitan dan segera berlalu.
“Wa’alaikumsalam,” jawabnya hampir tidak kudengar.
Kini masih terlihat hilir-mudik relawan menyalurkan bantuan juga handai–taulan yang mencari sanak keluarga mereka. Aku masih terbayang dengan tragedi semalam. Merenung sejenak, kurasakan derita para tunawisma yang tidak tentu mereka tinggal dimana. Hidupnya nomaden mengikuti situasi dan kondisi. Juga kurasakan derita para tuna karsa yang berjalan kesana kemari mencari sesuap rizki untuk bertahan hidup. Kini kami dianggapNya sama. Kami bersama dalam tenda darurat menanti uluran tangan dari para reawan. Kurasakan derita mereka, betapa ruginya aku yang selalu mengeluh dengan rizki yang kudapatka selama ini. Meskipun pas-pasan tapi aku masih lebih baik dari mereka. Orang tuaku masih mampu menghidupi kami sekeluarga tanpa harus meminta-minta. Alhamdulillah… ucapku serambi mengelus dada.
Langkahku lirih melewati jalan setapak yang dijejli orang-orang menunggu bantuan untuk makan pagi. Aku berjalan menuju mobil rombongan yang membawa korban bencana kekampungku.
“Tetha, Alhamdulillah ibu dan ayah menemukanmu. Ibu cemas setelah menyaksikan berita di televisi semalam,” Malam itu juga ayah dan ibu bergegas menjemputku. Cerita ayah sambil emngeluspundakkuy. Namun tak sekecappun aku menggubris curhatannya. Aku langsung berbalik menoleh dan kembali ke pengungsian. Kulihat diseberang sana banyak orang berkerumun. Ramai sekali, entah ada apa disana. Aku berlari mendekatinya sambil menenteng lukisan berbingkai yang tak lepas dari tanganku sejak semalam. Kudekati dan kusaksikan ditengah-tengah mereka. Saat melihatnya, aku hanya bisa diam tak banyak kata. Tubuh Putri kusaksikan ditengah kerumunan. Tubuhnya terbujur lemas dan kulitnya mengelupas karena luka bakar akibat insiden kebakaran semalam. Putri tersenyum dan berkata bahwa ia tidak menyangka bisa melihat dan berbincang lagi denganku.
Ayah dan ibu segera membawa ke rumah sakit terdekat. Sesampai disana sudah berdesakan banyak orang menunggu pelayanan dari rumah sakit. Satu jam menunggu pelayanan  sembari kami melepas tangis. Ayah, ibu, aku dan Putri masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk dipertemukan kembali. Kurebahkan tubuhku dipangkuan ibu, namun  saying sekali aku tak dapat memeluk Putri sahabatku. Hanya data memandangnya dengan mata berkaca-kaca.
Kini Putri sudah mendapatkan pelayanan yang layak dari rumah sakit. Hatiku terasa tersenyum kembali meskipun suasana masih setengah bahagia. Putri memintaku nanti malam untuk mengaji didekatnya, sebagai doa untuk kesembuhannya.
Malam itu aku, ayah, dan ibu mengaji didekat Putri yang subhanalloh begitu sunyi dan begitu berat untukku tak menitikkan airmata. Kesehariannya Putri tidak luput dari yang namanya ibadah. Karena ia adalah ahli ibadah dan ahli masjid yang membuatku beruntung mengenalinya. Berbanggalah ia dan orangtuanya yang telah tiada karena begitu asihnya sosok seorang Putri.
Kulihat ibu yang duduk disampingku mengenakan kerudung putih. Mengingatkanku pada kerudung yang biasa dikenakan Putri. Wajahnya terlihat ayu dengan jilbab putih terjulur pada tubuhnya.
Dua malam kami berada di rumah sakit menunggui Putri. Keadaannya semakin lemah, namun ayat ilahi tak pernah berhenti meluncur dari bibirnya. Tiba-tiba Putri memanggil ayah dan ibuku.
”Ayah, ibu terimakasih atas pertolongannya. Untuk biaya rumahsakit, Putri minta ayah dan ibu menjual kalung yang ada dimeja itu,” katanya lirih sambil menoleh kearah meja.
“Tidak nak, ini kewajiban kami untuk menolongmu,” jawab ibuku dengan mata berkaca-kaca. Tak biasanya Putri memanggilku dengan sebutan indah itu. Namun betapa lebih bahagianya aku jika mempunyai saudara kandung seperti Putri. Dan betapa bangganya orangtuaku jika emmpunyai anak sperti Putri.
Pada saat itu ia memandangku dan mengucapkan sesuatu yang tak dapat aku dengar dengan jelas. Ternyata permintaan maaf yang ingin disampaiakannya padaku. Ayah menyuruhku utnuk mendekat.
“Insya Alloh semua kesalahan Putri aku maafkan, dan mohon Putri juga memaafkan salahku ya…” bisikku dalam keharuan.
Tidak berapa lama Putri meminta kami untuk tidak menangisinya bila ia dipanggil Sang Khaliq dan meminta kami untuk membacakan ayat-ayat Al Quran.  Adzan ashar berkumandang dari masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit. Dalam baringnya Putri memintaku untuk membacakan do’a-do’a shalat seperti yang ia ajarkan padaku, dulu. Sungguh apa yang kulihat ini sesuatu yang begitu indah. Bahwa shalat adalah tiang agama yang bagaimanapun keadaan kita, harus tetap dilaksanakan. Sesudah salam, tubuhku lemas dengan mata berkaca-kaca tak kauasa lagi menahan tangis. Putri adalah sahabat emasku yang selalu menghiasi hari-hari dalam setiap duka dan bahagia. Ia selalu membimbingku dengan hari yang penuh senyum .
Ternyata shalatnya adalah shalat yang terakhir dan senyumnya adalah senyum yang terakhir. Selamat jalan sahabatkua, innalillahi wa inna ilaihi roji’un.
Continue reading →

Labels